DERAJAT KEWALIAN
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/
820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke
dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut
faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl
al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan
modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah
mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai
awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun
masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat
al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga
dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian
setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota
tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga
al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat
(hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah
dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu
berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan
haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq
Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq
Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi
karakteristik awliya haqq Allah, yaitu:
(1) bertaubat secara benar dan
memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan
diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut
al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam
penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada
dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni
mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah
orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan
bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil
mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada
Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati
Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq
(puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah
(posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat
kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah
al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya
kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan
kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim
al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari
maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas
telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah
seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak
al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya).
Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain
Allah.
Seorang wali yang mencapai puncak
kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak
al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak
menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau
hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M)
dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah
liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim
al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah
kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang
mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan
mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur
yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur
pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah);
sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar
dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi
meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di
berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat
keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang
surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di
hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini,
seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan
tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali
tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah),
bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah
sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan
Syuhada
Jakarta 9/6/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar