MENGENAL ALLAH
SWT
Awaluddin makrifatullah,
akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah mengenal Allah
dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah
merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ
الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba)
kecuali setelah mengenal (Allah) yang wajib disembah”.
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu, siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah
Firman Allah Taala yang artinya “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu
adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Langkah untuk mengenal Allah Azza wa
Jalla , “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
maka kenali dan dalami diri kita bagian yang tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata.
Diri manusia terdiri dari jasmani dan
ruhani. Jasmani (jasad) adalah bagian yang dapat tampak dengan panca indera
kita disebut juga lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak
dengan panca indera kita disebut juga bathiniah.
Nilai manusia tidak terletak pada
jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya.
Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada
manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: ”Aku menciptakan
manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku,
maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Ruhani (ruhNya) mempunyai panggilan
Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih,
gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan
hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan
atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif,
baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di
waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji,
menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Pada hakikatnya ke dalam hati (jiwa)
setiap manusia telah diilhamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk menimbang antara
yang Haq dan Bathil
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Dari ilham yang dihujamkan kepada
hati (qalbu) manusia maka lahirlah dalil aqli , kebenaran berdasarkan akal
qalbu manusia. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui
perkara-perkara yang penting dan fitrah
Orang-orang yang dapat mempergunakan
akal qalbu (hati) disebut dengan ulil albab
Ulil albab adalah kaum yang
mengetahui atau orang-orang yang dapat memahami dan mengambil pelajaran dari
petunjukNya berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“ (QS
Ali Imran [3]:7)
“Allah menganugerahkan al hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya,
yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat
[41]:3)
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir
(orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl
[16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau
orang yang mempunyai pengetahuan karena karunia hikmah dari Allah ta’ala adalah
“(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Ulil Albab berasal dari kata lubb
(hati) yakni mereka yang dapat memahami firmanNya berdasarkan cahayaNya atau
petunjukNya yang diilhamkan ke dalam hati (lubb)
Imam Sayyidina Ali karramallahu
wajhah menyampaikan bahwa hati (qalb) mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia
merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya
untuk Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia
merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya, “Mereka
itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah
[58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia
merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Subhanahu
wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm
[53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia
merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan
siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran
[3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena hati
merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk.
Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa
cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)
Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza
wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak
keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb.
Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu
ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Pada hakikatnya semua manusia telah
menyaksikan Allah ketika mereka belum lahir ke alam dunia, pada keadaan fitri ,
sebelum panca inderanya berfungsi.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah manusia terlahir ke alam
dunia , maka mereka lupa akan kesaksian atau penyaksian terhadap Allah.
Hakikat kata insan (manusia) adalah
nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.
Fitrah manusia adalah bertuhan,
mencari Allah, ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan
Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat
untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul
karimah.
Allah ta’ala yang selalu memberi
petunjuk kepada manusia untuk dapat menyaksikanNya kembali.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS
Adh Dhuhaa [93]:7)
Hal yang dimaksud “seorang yang
bingung” adalah kebingungan – kehilangan arah untuk memperoleh kebenaran mutlak
(al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah
menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan
untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau
terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi,
makan riba, main perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju
kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Asbabun Nuzul “Dan sungguh kelak
Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” (QS
Adh Dhuhaa [93]:5)
Dari Ibnu Abbas ra, dari ayahnya dia
berkata , “telah ditampakkkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sesuatu yang akan diberikan kepada umatnya tahap demi tahapan. Karena itu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merasa sangat gembira . Lalu turunlah
ayat ini” (HR Hakim, Baihaqi, dan Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam mengawalinya dengan berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan
bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi
mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.
Pada akhirnya Allah Subhanahu
Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan
laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat meneladani
manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam sehingga menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul
karimah.
Setelah Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla, manusia dikatakan berada pada
“on track” untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah setelah mereka
mengucapkan syahadat.
Dari Abu Musa al-Asy’ari , berkata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , “Demi Allah, yang diriku ada dalam
genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari umat
sekarang ini. Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman
kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Syahadat adalah penyaksian Allah yang
diucapkan dan kemudian dibuktikan dengan memenuhi perkara syariat yang
merupakan syarat sebagai hamba Allah yakni menjalankan kewajibanNya
(ditinggalkan berdosa) , menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi
apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Muslim yang membuktikan syahadat
dengan menjalankan perkara syariat disebut mukmin, orang beriman
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron [3]:31 )
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )
“dan ta’atlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal [8]:1 )
Setelah memenuhi perkara syariat atau
syarat sebagai hamba Allah maka diikuti dengan menjalankan amal kebaikan (amal
sholeh) untuk mendekatkan diri atau memperjalankan diri melalui maqom-maqom
hakikat sehingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla dan menyaksikan
Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh). Pada akhirnya tercapailah muslim yang
sholeh (sholihin) atau muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan
(muhsin/muhsinin) sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan
rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri
akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya
dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala
berfirman “hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang
lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika
hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan, maka
Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Muslim yang telah meraih maqom
(derajat) disisi Nya atau muslim yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla dan
menyaksikaNya dengan hati (ain bashiroh) akan berkumpul dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang
bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan
mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi
Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS
Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus ,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al
Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah
dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat)
disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang
membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat.
Sumber:https://mutiarazuhud.wordpress.com
Jakarta 9/6/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar