TAQWA MENURUT
SAYYIDINA ALI KARAMALLAH WAJHAH DAN SYAIH ABDUL QADIR JAILANI
Sayyidina Ali
Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu
adalah:
takut kepada
Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an (at-tanzil) dan
menerima (qona’ah) terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari
perlihan (hari akhir).<>
Pertama; Al-khaufu minal Jalil artinya
bahwa taqwa itu akan menjadikan seseorang merasa takut kepada Allah swt yang
memiliki sifat Jalal. Takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya.
Sehingga apapun yang akan diperbuatnya selalu dipertimbangkan terlebih dahulu.
Tangan tidak akan digunakan untuk memungut benda yang bukan miliknya tanpa
izin. Kaki tidak digunakan untuk berjalan ke aarah yang salah, demikian juga
mata dan telinga tidak akan difungsikan sebagai alat mendurhakai-Nya.
Maka taqwa
dalam bingkai Al-khaufu minal Jalil, lebih bernuansa ‘penghindaran dan
pencegahan’ dari pada ‘pelaksanaan’. Karena sesungguhnya ‘ketakutan’ itu akan
menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan. Seperti halnya seorang
anak kecil yang takut bermain air hujan karena takut kepada orang tuanya.
Kedua; wal ‘amalu bit tanzil,
menghindari sesuatu karena takut kesalahan dalam konsep taqwa tidak lantas
menjadikan seseorang tidak berbuat apa-apa, karena hal taqwa juga menuntut
tindakan baik yang berdasar pada al-Qur’an yang diturunkan (at-tanzil) sebagai
pedoman hidup dan dasar bersyariat bagi kaum muslim.
Maka segala
‘amal orang yang bertaqwa berdasar pada al-Qur’an, dan mereka tidak akan
melakukan sesuatu secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya baik
al-Qur’an, Hadits, Ijam’ maupun qiyas.
Ketiga; al-Qana’atu bil Qalil,
artinya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang sedikit,
sesungguhnya orang yang memiliki rizqi yang sedikit dan merasa cukup dengan
rizqi tesebut adalah bukti sekaligus tanda bahwa orang itu dicintai oleh Allah
swt. Sebagaimana yang disabdakan rasulullah saw.
Bahwa jika
Allah mencintai seorang hamba ia akan memberikan rizki yang pas-pasan kepadanya.
Artinya pas-pasan
adalah tidak memiliki kelebihan selain untuk menutupi kebutuhan pokoknya,
inilah tanda orang taqwa yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu dalam
kenyataannya tidak seorangpun hamba yang hidup pas-pasan bertindak secara
berlebihan, berhura-hura dan doyan belanja. Karena berbagai macam keglamouran
hidup itu sangat dibenci oleh Allah swt. menyebabkan manusia melupakan
Tuhannya. Itulah bukti hamba itu dicintai oleh Allah.
Berbeda
sekali dengan seorang yang memiliki limpahan harta yang berlebih. Maka di kala
waktu luang setan akan segera menghampirinya dan membujuk untuk berbuat
hura-hura, jalan-jalan berekreasi ke tepi pantai atau santai santai di
menikmati keremangan malam atau malah mencari kesibukan diluar pengetahuan
pasangannya. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang sepertin ini.
Maka menjadi
amat penting memeperhatikan sabda Rasulullah saw selanjutnya yang berbunyi:
Beruntung
sekali orang (yang mendapatkan petunjuk)Islam, yang mempunyai rizqi pas-pasan
dan rela dengan rizqi (yang pas-pasan) itu.
Ridhda atau
rela dengan kesedikitan itu menjadi satu sarat tersendiri. Sebagai pertandanya
orang tersebut tidak pernah berkeluh-kesah akan keadaanya. Banyak sekali hamba
yang merasa cukup dengan rizqi yang diterimanya, saying sekali ia sering
keluhan-keluhan. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengurangi ketaqwaan.
Dan keempat,
al-isti’dadu li yaumir rakhil,
adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Perpindahan dari alam dunia ke
alam kubur lalu ea lam akhirat. Artinya segala amal orang yang bertaqwa
senantiasa dalam ranga menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. yaitu hari
keberangkatan dari alam dunia menuju alam akhirat.
Syaikh Abdul Qodir al Jailani menjelaskan bahwa ada
orang jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah
kepada Allah” maka dia marah dan jika disampaikan kebenaran
kepadanya maka dia mendengar namun menganggapnya remeh. Jika diingkarkan
kepadanya maka dia ingkar dan marah padamu.
Berikut penjelasan Syaikh Abdul Qodir al
Jailani yang termuat pada kitab al Fath ar Rabbani wa al Fayadl ar Rahmani yang
diterbitkan oleh Mitrapress dengan judul “Mahkota Sufi” diterjemahkan oleh
Muhammad Nuh Lc.
***** awal kutipan *****
Bukankah Umar bin al Khathab ra pernah berkata, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka ia akan selalu menghilangkan kemarahannya“. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam hadits qudsi, “Aku menyintai kalian ketika mentaatiKu, dan ketika kalian bermaksiat padaKu , maka Aku murka kepada kalian”
Bukankah Umar bin al Khathab ra pernah berkata, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka ia akan selalu menghilangkan kemarahannya“. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam hadits qudsi, “Aku menyintai kalian ketika mentaatiKu, dan ketika kalian bermaksiat padaKu , maka Aku murka kepada kalian”
Cintailah
Allah dengan sebenar-benarnya. Cintailah dengan segenap hatimu. Sebab engkau
membutuhkanNya. Ketahuilah Allah menyintaimu bukan sebagai kebutuhanNya. Dia
tidak membutuhkan dirimu. Dia mencintaimu untuk kepentinganmu bukan demi
kepentinganNya. Dia menyukai kepatuhanmu sebagai manfaat yang kembali kepadamu
juga. Sambutlah Dia yang mencintaimu dengan senang hati kepadaNya.
Wahai
murid-muridku! apa yang kukatakan ini tidak akan bisa kauterima jika dirimu
tidak menggunakan akal sehat. Maka gunakanlah akal sehatmu untuk menerima
nashatku.
Gunakanlah
akalmu wahai orang yang berpikir. Berpuaslah menerima apa adanya, sehingga
Tuhan akan memberimu kedudukan yang banyak dari bagian akhiratmu. Pungutlah
kekayaan duniawi dengan sikap zuhud. Jangan engkau memungutnya dengan hawa
nafsu dan syahwat.
Kaum shalih
adalah orang-orang berakal. Ketahuilah kaum shalih adalah orang-orang yang
berakal. Mereka mengatakan, “Kami tidak
akan memakan makanan di jalan atau di rumah, melainkan di sisiNya“.
Jika orang-orang zuhud makan di surga dan orang-orang arif makan disisiNya,
sementara mereka masih berada di dunia, maka kalangan pecinta Allah, tidak
makan di dunia juga tidak di akhirat. Sesungguhnya makanan mereka adalah
kedekatan dengan Tuhan Azza wa Jalla.
Kaum shalih
memilihi sifat qanaah yang sempurna. Mereka memiliki tingkat penyerahan diri
kepada Tuhan secara utuh. Mereka tidak memiliki kehendak, juga pilihan,
melainkan hanya sekedar menjalani perintah Tuhannya.
Engkau
jangan berdalih apapun sebab dirimu tidak memiliki dalih yang tegas. Halal dan
haram sudah jelas. Betapa kurang ajarnya dirimu kepada Allah. Betapa sedikit
ketakutanmu kepadaNya dan betapa besar sikap meremehkan atas kenikmatan
memandangNya, padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Takutlah pada Allah Azza wa Jalla seolah-olah
engkau melihatNya. Jika engkat tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia sedang
melihatmu”
Sumber:1.http://www.nu.or.id
Jakarta 16/6/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar