WALI MENURUT
KAUM SUFI ?
اَلآ اِنّ
اَوْلِيَآ ءَ اللهِ لاَخَوءفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونْ
Ingatlah sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak (pula )
mereka bersedih hati Yunus 62
قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ : اِنَّ
مِنْ عِبَادِ اللهِ عِبَادًا يُغْبِطُهُمُ اْلاَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ. قِيْلَ مَنْ
هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ. هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوْا بِنُوْرِ
اللهِ مِنْ غَيْرِ اَمْوَالِ وَاَنْسَابِ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ. وَهُمْ عَلَى مَنَابِرَمِنْ
نُوْرِ لاَيَخَافُوْنَ اِذَا خَافَ النَّاسُ، وَلاَ يَخْزَنُوْنَ اِذَا حَزِنَ النَاسُ.
ثُمَّ تَلاَ. اَلاَ اِنَّ اَوْلِياَءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ.
Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia)
yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka
dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan
(pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa
gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Dan apa amal perbuatan mereka? Semoga
kita dapat mencintai mereka? Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada
hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda yang dengannya mereka saling
memberi. Demi Allah, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri
di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita.
(HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Muqaddimah
Dalam dunia tasawwuf – juga dalam
cabang-cabang ilmu lain – dalam kenyataannya memang terdapat cendekiawan palsu
yang membelokkan jalan dari aturan syariah. Dalam bidang tasawwuf ini menurut
Syeikh Hasyim juga terdapat orang yang merusak konsep tasawwuf. Peringatan
adanya jahlatul mutashawwifah (orang-orang bodoh yang mengaku bertasawwuf)
disebutkan oleh Syeikh Hasyim dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Ciri-ciri
mereka disebutkan menganut paham ibahiyyah (aliran menggugurkan kewajiban
syariat untuk maqom tertentu), reinkarnasi, manunggaling kawulo (Syeikh Hasyim
Asy’ari,Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 12).
Kewajiban syari’at bagai penganut tariqah
sufi dan para sufi tetaplah wajib dijalankan, dimanapun, kapapun dan dalam
keadaan apapun. Syeikh Hasyim menolak jika kewajiban syariat Nabi Muhammad itu
terpakai untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu tertentu. Orang yang
meymakini gugurnya syariat pada orang dan waktu tertentu dikatakan sebagai
orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur’an yang agung (istihza anil
Qur’anil ‘adzim).
Corak yang menonjol dari pemikiran tassawuf
Syeikh Hasyim adalah membangun citra positif tentang sufi dalam menghadapi
aliran-aliran sesat di luar Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Secara geneologis,
tasawwuf Syeikh Hasyim berasal dari ajaran Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh
Khatib Sambas ketika belajar di Makkah al-Mukarramah. Syeikh al-Bantani dan
Syeikh Khatib Sambas adalah dua ulama’ dari Indonesia yang mengajar di Makkah.
Keduanya mewarisi tasawwuf Imam al-Ghazali.
Corak pemikiran tersebut diadopsi oleh Syeikh
Hasyim Asy’ari. Orang yang mengaku dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak
mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pendusta.
Beliau mengatakan:
فمن
الدعى الولاية بدون شاهد المتابعة فدعواه زور وبهتان
“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa
kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka pengakuan
tersebut dusta bohong.” (Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il
al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).
Syeikh Hasyim berpendapat, wali tidak akan
memamerkan dirinya sebagai wali. Justru seorang sufi tidak menyukai
popularitas. Ia mengatakan: “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang
banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat
dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal
mmereka bukan ahli syariat.” (Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a
‘Asyarah, hal. 1).
Dikatakan bahwa karakter seorang wali justru
menyembunyikan kewalian dan mengedepankan tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu
tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan
kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannnya. Karena itu orang
yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah”
(Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 9).
Tanda-Tanda Kewalian ?
Menurut
Ibnu Arobi seseorang bisa
disebut wali apabila ia sudah mencapai tingkatan makrifat (dalam literatur
barat disebut gnosis), tingkatan tertingi dalam kalangan tasauf akhlaqi. Kaum
sufi yakin bahwa makrifat (gnosis) bukan hasil pe mikiran manusia, tetapi
tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan; makrifat merupakan pemberian Tuhan
kepada seorang sufi yang dipandang sanggup meneri manya . Menurut al Qusyairi
ada tiga alat untuk mencapai makrifat, yakni qolb atau kalbu (sering
diterjemahkan dengan hati) untuk mengetahui sifat sifat Tuhan, roh (rohani)
untuk mencintai Tuhan, dan sirr (sering diartikan dengan rahasia) yaitu alat
paling halus yang ada pada manusia untuk melihat Tuhan.
Imam al Gozali mendefinisi kan makrifat dengan penglihatan terhadap
rahasia rahasia ketuhanan ,pengetahuan terhadap susunan tata aturan ketuhanan
yang mencakup seluruh yang wujud Penertian wali dalam dunia sufi sering
menekankan dimensi mistiknya ,Ma kom- makom (tingkatan) awal seperti tobat,
waro’,fakir, sabar, tawakal, dan rido perlu diperhatikan dalam memahami
pengertian wali dalam dunia sufi.
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali
Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para
pengantin itu melainkan ahlinya. Mereka itu terkurung pada sisi-Nya di dalam
hijab (dinding penutup) kegembiraan dan takkan dapat melihat kepada mereka
seorangpun di dunia ini maupun diakhirat, yakni tiada dapat mengetahui rahasia
mereka.
Tanda (alamat) bagi
seorang wali itu ada tiga: yakni agar menjadikan kemauan kerasnya demi untuk
Allah, pelariannya kepada Allah dan kemasygulannya dengan Allah. Pendapat lain
menyatakan, bahwa tanda seorang wali adalah memandang diri dengan kerendahan
dan merasa takut akan kejatuhan dirinya dari martabat yang ia berada di
atasnya, sambil tidak percaya dengan sesuatu kekeramatan yang nyata bagi
dirinya, tiada pula ia tertipu dengannya. Tiada ia memohonkan kekeramatan itu
untuk dirinya dan tiada pula ia mengakui (kekeramatan itu).
Al Khaffaz telah berkata: Apabila
Allah berkehendak untuk menjadikan hamba-Nya seorang wali, niscaya dibukakan
baginya pintu dzikir. Apabila ia telah merasa lezat dengan dzikir itu, maka
dibukakan pula atasnya pintu pendekatan. Kemudian ditinggikan martabat-Nya
kepada majelis-majelis kegembiraan. Lalu ia didudukkan di atas kursi keimanan
untuk disingkapkan (dibukakan) daripadanya hijab (tabir penutup) dan
dimasukkannya ia ke pintu gerbang ke-Esaan serta diungkapkan baginya
garis-garis ke-Maha Agungan Allah. Pada saat penglihatannya tertuju kepada
ke-Maha Agungan serta kebesaran-Nya, niscaya ia akan tinggal tanpa dirinya dan
akan menjadi fana (lenyap) untuk tiba menuju pemeliharaan (penjagaan) Allah,
agar terlepas dari segala pengakuan dirinya. Baru kemudian ia pun menjadi
seorang wali.
Mungkin seorang wali
menjadi batal kewaliannya dalam sebagian hal ihwal. Akan tetapi, yang umum atas
diri wali di dalam perjalanannya dari tkebatalan kepada ketetapannya adalah
kesungguhan menunaikan hak-hak Allah Swt berbelas kasih kepada para makhluk-Nya
dalam segala hal ihwal dengan hati yang sabar, sambil memohon kepada Allah
segala kebaikan untuk para makhluk. (Mahmud Abul Faidi al Manufi al Husain,
dalam kitabnya Jamharotul Aulia’ Terjemah Abu Bakar Basymeleh, th.1996, Mutiara
Ilmu, Surabaya, hlm. 179).
Al Quthub Abdul Abbas al
Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya
Ibnu Athaillah as Sakandari, “Waliyullah itu diliput ilmu dan
makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakekat senantiasa disaksikan oleh mata
hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan
seperti identik dengan idzin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang
diidzinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan
kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan
indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
Dasar utama perkara wali
itu, kata Abul Abbas, “Adalah merasa cukup bersama Allah, menerima
ilmu-Nya dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah
Ta’ala berfirman: “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang
mencukupinya.” (QS. ath Thalaq : 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?”
(az Zumar : 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?”
(QS. al Alaq : 14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya
Dia itu menyaksikan segala sesuatu ? (QS. Fushshilat : 53)”
Mereka itulah yang telah
mendapatkan cahaya Ilahiyat dengan nur ar Rahman, sehingga dapat memandang
keindahan maut dan memandang akhirat dengan mata keridlaan. Membeli yang kekal
dengan yang fana. Alangkah nikmatnya apa yang mereka jual-belikan dengan
menghimpun dua kebaikan dan menyempurnakan dua kelebihan. Nabi bersabda :
اَحَبُّ الْعِبَادِ إِلىَ اللهِ اْلاَتْقِيَاءُ اْلاَخْفِيَاءُ
الَّذِيْنَ اِذَا غَابُوْا لَمْ يَفْتَقِدُوْا وَاِذَا شَهِدُوْا لَمْ يَعْرِفُوْا
اُولَئِكَ هُمْ أَئِمَّةُ الْهُدَى وَمَصَابِيْحُ الْعِلْمِ
Hamba yang paling cinta
kepada Allah adalah yang tersembunyi. Apabila mereka gaib (tidak hadir),
sekali-kali tiada orang yang dapat mengenalnya. Mereka itu adalah para imam
hidayat dan lampu-lampu ilmu pengetahuan.
Sabda Beliau Saw yang
lain :
اِنَّ مِنْ خِيَارِ اُمَّتِى قَوْمٌ يَضْحَكُوْنَ جَهْراً مِنْ
سَعَةِ رَحْمَةِ رَبِّهِمْ وَيَبْكُوْنَ سِرًّا مِنْ خَوْفِ شِدَّةِ عَذَابِ رَبِّهِمْ
عَزَّ وَجَلَّ يَذْكُرُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ وَيَدْعُوْنَهُ بِأَلْسِنَتِهِمْ
رَغَبًا وَرَهَباً وَيَشْتَاقُوْنَ اِلَيْهِ بِقُلُوْبِهِمْ عَوْدًا وَبَدَأَ مُؤْنَتُهُمْ
عَلىَ النَّاسِ خَفِيْفَةً وَعَلىَ اَنْفُسِهِمْ ثَقِيْلَةً عَلَيْهِمْ مِنَ اللهِ
تَعَالىَ شُهُوْدٌ حَاضِرَةٌ وَاَعْيُنٌ حَافِظَةٌ وَنِعَمٌ ظَاهِرَةٌ يَتَوَسَّمُوْنَ
الْعِبَادَ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى الْبِلاَدِ اَجْسَادُهُمْ فِى اْلاَرْضِ وَقُلُوْبُهُمْ
فِى السَّمَاءِِ
Orang yang terbaik di
antara umatku adalah suatu kaum yang tersenyum karena luasnya rahmat dan kasih
sayang Allah. Di samping itu, mereka manangis tersedu-sedu sambil mencucurkan
air mata karena takut akan kerasnya adzab (siksa) Allah. Mereka senantiasa
berdzikir dan berdoa sambil menaruh penuh harapan dan rasa takut. Mereka
merindukan Rabb-Nya dengan hati yang tulus. Beban mereka atas manusia sangat
ringan tapi atas diri mereka sendiri berat sekali. Penyaksian atas mereka dari
Allah Swt dengan penglihatan yang memelihara dan aneka nikmat yang nyata.
Mereka melihat tanda-tanda seorang hamba dan memikirkan negerinya. Jasad mereka
berada di permukaan bumi, sedang hati sanubari mereka menjulang tinggi di
langit.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah
saw tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan wali Allah swt, Rasululla saw
menjawab Wali Allah adalah orang orang yang diingatkan Allah melalui mimpi
mereka HR Ahmad bin Hanbal. Hadits yang teksnya hampirserupa banyak diri
wayatkan orang, misalnya dari Abi Duha (Muslim bin Hamadani Subaih w100H)dari
Sa’id bin Juber (624-692), Wali /aulia Allah adalah orang orang yang apabila
mimpi diingatkan Allah. Hadits-hadits yang
diriwayatkan melalui beberapa sanad ini meru pakan jawaban Rasulullah saw atas
pertanyaan sahabat berkaitan dengan surat Yunus ayat 62 itu .
Pembagian
waliyullah. Ustadz Haji Ali
Haji Muhammad dalam bukunya Mengenal Tasuf dan Tarekat me nyebutkan bahwa
tingkatan wali ada 36 tingkat . 1.Wali Qutub 2 Wali al Immah,3 Wali Autad,4
Wali Abdal, 5 Wali Nuqba, 6 Wali Nujba, 7Wali Hawari,8 Wali Rajbi, 9 Wali
Khatami, 10 Rijalul Gaib,11 Rijalu Quwati Al Ilahiyaj,12 Rilau Hanani wal
‘Atfil Ilahy,13 Rijalu Haibah wal Jalal, 14 Rijalu al Fathi, 15 Rijalu Ma’arij
Al Ula, 16 Rijalu Tahtil Asfal, 17 Rijalu Imdadil Ilahi wal Kaon, 18 Ilahiyun
Rah maniyun, 19 Rijalul Istitoolah, 20 Rijaalul Gina Billah, 21Rijalu ‘Ainut
Tahkim waz Zawa id, 22 Rijalul Istiqoq, 23 Al Mulamatiyah, 24 Al Fuqoro, 25 Als
Shufiyah, 26 Al ‘Ibaad, 27. Al Zuhaad, 28 Rijalul Maai, 29Al Afrood, 30 Al
Umana, 31 Al Qurro, 32 Al Ahbab, 33 Al Muhaddatsun, 34 Al Akhilla, 35 Al Samro
u, 36 Al Wirotsah.
Sumber:1.http://dakwah-programming-technology.blogspot.com
2.http://sufiroad.blogspot.com
3.http://www.hidayatullah.com
Jakarta 2/7/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar