HUKUM IKHLAS
beramal ?
ؤما امر الا ليعبد الله مخلصين له الدين حنفاء
Artinya :“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan kethaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.(al-Bayyinah:5)
اِنَّ اللهَ
لَايُقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ اِلَّا مَاكَانَ لَهُ خَالِصاً وَابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ
Artinya :
"sesungguhnya Allah
tidak akan menerima amal kecuali yang mengerjakannya secara ikhlas, dan mencari
hanya ridhanya" (HR. An-Nasai dari Abu Umamah al-bahili).
إنما الأعمال
بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله
ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya
setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan
balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia
inginkan.” (HR.
Bukhari [Kitab Bad’i al-Wahyi,
hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa
an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Muqaddimah
Berkenaan dengan niat,sebagian ulama mendefinisikan niat menurut syara
sebagai berikut :
النية هي قصد
فعل شيئ مقتر نا بفعله
Artinya
: Niat adalah menyengajakan untuk berbuat sesuatu disertai dengan
perbuatan-perbuatannya.
عن ابي
هريرةعبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال : قا ل رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان
الله تعالي لا ينظر الي اجسا مكم ولا الي صوركم ولكن ينظرالى قلوبكم (رواه مسلم)
Artinya
: Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin sakhr r.a,berkata bahwasanya Rasullullah
saw. telah bersabda : Sesungguhnya Allah SWT. tidak melihat bentuk badan dan
rupamu, tetapi melihat (memperhatikan niat dan keikhlasan) hatimu. (H.R Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon
sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan
hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas
kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan
tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah
ketika datangnya Yaumul
Ma’aad (kari kiamat). Ketika
dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang
pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya
adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan
surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga
tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid
dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’
adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa
rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya
hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang
terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat
Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal.
158).
Pentingnya Niat ?
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Allah yang
menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di
antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah
menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling
benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima.
Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas
yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas
sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul
al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Mutharrif
bin Abdullah rahimahullah
mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan
dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal.
19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah
mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa
banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh
Ibnu Rajab dalam Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang
ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah
berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.”
(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim,
dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi,
hal. 19)
Pada suatu
ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan
untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang
membuatku lupa diri).” (Siyar
A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Sahnya Amal benarnya Niat ?
Hadits yang
mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal.
Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya
pun menjadi jelek (Syarh
Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah
as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab
al-Hanbali rahimahullah
mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya
laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah
dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin
mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di
dunia maupun di akhirat.” (Jami’
al-‘Ulum, hal. 13)
Ibnu
as-Sam’ani rahimahullah
mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak
akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam
rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa
mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam
melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam
Fath al-Bari [1/17]. Lihat
penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi
Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah
as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits
ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan
sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak
akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar]
untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Menurut
Sayyidina Ali r.a tanda-tanda orang riya ada tiga, yaitu
1. Malas beramal kalau sendirian;
2. Semangat beramal kalau dilihat banyak manusia;
3. Amalnya bertambah banyak jika dipuji oleh manusia dan
berkurang jika dicela manusia.
Syaqiq
bin ibrahim yang diikuti oleh Abu Laits Samarqandi, berpendapat bahwa ada 3
perkara yang menjadi benteng amal, yaitu :
1. Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya adalah pertolongan
dari Allah SWT. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang.
2. Semata-mata hanya mencari ridho Allah SWT. agar hawa
nafsunya teratur
3. Senantiasa hanya mengharapkan ridho Allah SWT. agar timbul
rasa tamak dan iri.
Ikhtitam
عن محمودابن
لبيد قال : قا ل رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان اخوف ما اخا ف عليكم الشرك
الاصغر : (اخرجه احمد با لسنا حسن))
Artinya
: “ Dari Mahmud bin Lubaid ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda : sesuatu
yang paling aku khawatirkan diantara kamu adalah syirik kecil,yaitu riya.” (H.R
Ahmad dengan sanad Hasan).
Sumber:1.http://nisaareal.blogspot.com
2.http://muslim.or.id
Jakarta 30/7/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar