MEMAKNAI HALAL
BI HALAL ?
وَلِتُكْمِلُوْا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
﴿البقرة : 185﴾
"Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangan Ramadlan dan hendaklah kamu (bertakbir)
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur" (al-Baqarah: 185)
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ
مِّنَ النَّاسِ .... ﴿ال عمران : ١١٢﴾
"Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…" (Ali Imran: 112)
عَنْ
سَخْبَرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتُلِيَ
فَصَبَرَ وَأُعْطِيَ فَشَكَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغْفَرَ
أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني في الكبير رقم 6482 والبيهقي في شعب الايمان رقم 4117)
"Diriwayatkan
dari Sakhbarah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi cobaan
kemudian bersabar, diberi nikmat kemudian bersyukur, dianiaya kemudian
memaafkan, dan berbuat dzalim kemudian meminta maaf, maka merekalah yang
mendapatkan kedamaian dan merekalah yang mendapat hidayah" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 6482 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab
al-Iman No 4117)
Muqaddimah
ADA sebuah
tradisi kreatif khas masyarakat Muslim Tanah Air, yaitu Halal bi Halal. Satu kebiasaan
yang hanya ada di negeri kita. Halal bi Halal muncul sebagai ungkapan saling
menghalalkan kesalahan dan kekhilafan. Saling memaafkan satu sama lain. Setiap
orang sadar tidak ada yang lepas dari kesalahan. Manusia tempatnya salah dan
lupa. Idul Fitri dengan kegiatan Halal bi
Halal-nya, membuat umat Islam melebur kesalahannya dengan berbagi
maaf tanpa sekat yang membatasi.
Asal Muasal
Halal bi Halal ?
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, hemat penulis, istilah Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic. Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut.
Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan. Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah: 45).
Merujuk kepada keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, hemat penulis, istilah Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic. Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut.
Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan. Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah: 45).
Merujuk kepada keterangan Prof Dr Quraish Shihab, bahwa istilah Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-Ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya.
Hikmahnya ?
Ada tiga
pelajaran yang bisa kita petik dari kegiatan Halal Bi
Halal.
Pelajaran
pertama adalah pembersihan diri dari
segala bentuk kesalahan. Ibarat pemudik yang pulang ke kampung halamannya
setelah sekian tahun merantau ke negeri seberang. Dalam perjalanan itu tidak
sedikit ia isi dengan kesalahan, seperti lupa salat, lalai menunaikan janji
setia kepada Allah, lupa berdzikir, bersikap angkuh atau berlaku aniaya kepada
diri sendiri.
Pelajaran
kedua dari Halal bi Halal adalah membersihkan hati dari rasa
benci kepada sesama. Pada suatu hari, ketika Nabi SAW tengah duduk-duduk dengan
para sahabatnya, ada seorang pria asing berjalan di hadapan mereka. Orang itu
berjalan lalu pergi entah ke mana.
Setelah pria
asing itu berlalu, Nabi berkata kepada para sahabat, “Dialah ahli surga.” Kalimat
itu beliau ucapkan tiga kali. Sahabat Abdullah bin Umar penasaran tentang amal
perbuatan yang dikerjakannya sampai sampai Nabi menyematinya sebagai ahli
surga. Abdullah memutuskan untuk menyusul si “ahli surga” di kediamannya.
Abdullah minta izin menginap selama 3 hari di rumahnya. Pria ini memberinya
izin. Ternyata selama 3 hari itu Abdullah tidak melihat amalan-amalannya yang
istimewa. Abdullah semakin penasaran.
Akhirnya ia
bertanya, “Wahai saudaraku, sewaktu engkau lewat di hadapan kami, Rasulullah
berkata bahwa engkau adalah ahli surga. Amalan apa yang engkau kerjakan
sehingga Rasul sangat memuliakanmu?” Pria sederhana ini menjawab, “Sesungguhnya
aku tidak pernah melakukan apa-apa. Aku tidak punya ilmu dan harta yang bisa
kusedekahkan. Aku hanya punya rasa cinta kepada Allah, Rasulullah dan sesama
manusia. Setiap malam menjelang tidur, aku selalu berusaha menguatkan
rasa cinta itu sekaligus berusaha menghilangkan rasa benci terhadap siapa
saja.”
Pelajaran
ketiga adalah memupuk kepedulian dan
kebersamaan. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari pergaulan
dan kebersamaan yang dibangun lewat sikap tolong-menolong. Muslim yang kaya
membantu saudaranya yang miskin. Sepatutnya rasa gembira seseorang juga
memberikan bentuk kenikmatan yang lain, yaitu kenikmatan bersyukur dengan
berupaya membagi kebahagiaan itu kepada sesamanya. Kini, saatnya setiap Muslim
membumikan berkah-berkah kesalehan Ramadhan dengan menebar rasa bahagia ke
setiap orang, memupuknya, merawat dan menjaga agar mendapatkan buah indahnya
ikatan persaudaraan.
Ikhtitam
Jika semua itu bisa kita lakukan, Allah
berjanji dalam hadits Qudsi: “Cinta-Ku berhak
(diperoleh) bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak
diperoleh bagi orang-orang mau saling memberi karena-Ku, cinta-Ku berhak
diperoleh bagi orang-orang yang mau saling tolong menolong karena-Ku, cinta-Ku
berhak diperoleh bagi orang-orang yang saling berlaku adil karena-Ku dan
cinta-Ku berhak bagi orang-orang yang saling berziarah karena-Ku.”
Dengan deikian, hikmah halal bi
halal dapat kita ambil hikmahnya baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat
kelak. Ketika di dunia hikmahnya adalah kehidupan di lingkungan masyarakat
menjadi aman, damai dan menciptakan ketertiban dalam beragama dan bernegara.
Ketika di akhirat, akan meringankan beban kita dari hak-hak dan kewajiban
terhadap sesama manusia. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Minal Aidin wal
Faizin, mohon maaf lahir dan batin.
Sumber:1.http://hujjahnu.blogspot.com
2.http://www.hidayatullah.com 3.http://www.republika.co.id
Jakarta 24/7/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar