JANGAN Memakan Harta yang
Batil:SUAP !
“Dan janganlah
(sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan
batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
“Hai orang yang beriman, janganlah
kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa [4]:
29).
Muqaddimah
Bukan rahasia umum, budaya korupsi
yang melanda bangsa ini semakin tidak jelas ujungnya. Kita tahu, momentum akbar
tumbuh suburnya korupsi bermula sejak zaman Orde Baru. Pada saat itu akses
kekuasaan yang luas dan ketergantungan kepada pihak asing membuat Indonesia
terus berutang. Surga uang terus mengucur dari pihak asing dan sebagai
imbalannya konsesi-konsesi pertambangan secara khusus kemudian diberikan
pemerintah Indonesia. Ironisnya, kucuran dana tersebut tidak semua dikelola
untuk pembangunan negara akan tetapi sebagian menjadi bancakan di lingkungan
pemerintah maupun komlorasi. Walhasil, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) tumbuh subur dan berlangsung bertahun-tahun bahkan diwariskan sampai
sekarang.
Makna Risywah
(Suap)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negera atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.6 Sebenarnya korupsi dari asal kata yang mengandung banyak defenisi, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Termasuk ke dalam makna korupsi adalah suap. Pengertian korupsi yang banyak tersebut dilihat dari sudut pandang fiqih Islam juga mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena beberapa defenisi tentang korupsi merupakan bagian-bagian tersendiri dari fiqih Islam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negera atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.6 Sebenarnya korupsi dari asal kata yang mengandung banyak defenisi, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Termasuk ke dalam makna korupsi adalah suap. Pengertian korupsi yang banyak tersebut dilihat dari sudut pandang fiqih Islam juga mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena beberapa defenisi tentang korupsi merupakan bagian-bagian tersendiri dari fiqih Islam.
Pengertian
Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
- Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariat) atau membatalkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy (Ibn Al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
- Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
- Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
- Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
Yang dimaksud risywah
(suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq
atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah
II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah
mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti
pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk
memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah
Al-Munir I/228).
Sedangkan Ibnu
Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah
sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang
dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits
II/546).
Dari beberapa
pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh
karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh
keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus
diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga
kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa
uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar
memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Hukum Suap
Dalam Al-Qur’an dan Hadits
Praktik
suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i
berupa Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat
banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Dalil
dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن
جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka
putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”.
(QS.
Al-Maidah: 42).
Di dalam
menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma
dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram)
adalah
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam
tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata:
“Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada
kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya
Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran
ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah
ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang
bathil.
Allah Ta’ala
berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 188).
Imam
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian
memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia
menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara
yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang
batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang
hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat Al-Jami’
Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Janganlah
kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka
dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada
kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. (Lihat Az-Zawajir
‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
2. Dalil
dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam,
diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu
Hurairah radliyallahu
’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR.
Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076.
Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih
At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan
diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima
suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337,
Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190
no.6778. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh
Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261
no.2211).
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي
يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan
diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan
perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits
ini dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if
At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya
diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat
Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke
dalam dosa besar yang ke-32.
Pendapat
Ulama’
Para
ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap
secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan
Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-Mughni XI/437,
An-Nihayah II/226,
dan Subulussalam I/216).
Imam
Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab
Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’
Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).
Imam
Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’,
baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja
yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus
Salam II/24).
Syaikh Abdullah
bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap,
sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul
Ahkam VII/119).
Imam
An-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar
hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak
memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya
haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah
haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu
Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Fatwa MUI
tentang Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
Atas desakan
masyarakat yang telah lama resah dengan praktik risywah dan status
hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau sebaliknya,
maka dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada
tanggal 23-27 Rabi'ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M, MUI telah membahas
tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada
Pejabat. Sidang tersebut kemudian menyepakati bahwa:
- Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
- Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
- Memberikan hadiah kepada
pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
(1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
(2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
(3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Pemberantasan suap/sogok, korupsi adalah
tanggung jawab seluruh masyarakat. Sekecil apa pun upaya dalam memotong mata
rantai korupsi sangatlah berharga untuk menyelamatkan bangsa ini dari
keterpurukan akibat ketamakan segelintir orang. Wallahu a’lam bi shawab.
JAKARTA
6/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar