Pendahuluan
Al-Qur`an sebagai kitab samawi terakhir yang
diberikan kepada Muhammad sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya
sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan
rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang
tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang
mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya.
Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek
kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung
didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi
objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban
bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan
kemajuan intelkstualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan
berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya
mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi
sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad.
Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga
dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut
dengan MUKJIZAT.
1. Pengertian Mukjizat
Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal
dari bahasa Arabأعجز yang berarti “melemahkan
atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ة“” ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan makna mubalaghoh (superlative)1.
Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar
dijangkau oleh kemampuan manusia”2.
Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa
luar bisaa yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti
kenabiannya yang di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau
mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut”.3
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum
ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari
“mu’jis”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah
menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk
menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).4
Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan
beberapa pengertian diantaranya:
Pertama; kejadian luar bisaa yang “sukar” dijangkau
oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ke-luar
bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan
probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada
maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?.
Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat
Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang dimaksud
adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat
secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia5.
Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di
alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal
mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada
beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang
gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia
besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya,
tepatnya dalam QS: Yunus: 39 6
.
Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia
tentang hukum sebab-akibat yang terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari
hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh
adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang
dapat diketahui manusia), sedangkang masih banyak sebab-akibat dari hasil angka
7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan pengindraan. Misalnya
3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat
tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh
karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena yakin bahwa
manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya. Tetapi
seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima kebenaran
tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena ada
tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita pahami.
kedua; melemahkan. Istilah ini juga menggoda pada
kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat datang kaum Sirfah. Abu Ishaq
Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha
mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara shirfah
(pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang
Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa
yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia
berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan
mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada
QS. Al-Isra’:88. 7
ketiga; dibawa oleh seorang nabi. Seandainya peristiwa
luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan
dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?. Dalam buku yang sama Quraish Shihab
menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan
dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada seseorang yang kelak
akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi pada hamba Allah yang
taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba yang durhaka disebut
Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah (penghinaan)9.
Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran
Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat
beriman kepada Allah.
keempat; sebagai bukti kerasulan. Kata “bukti”
menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada
rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut mukjizat?.
kelima; mengandung tantangan. Memang kebanyakan ulama
diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra’: 88 mengandung tantangan
dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu’jas10,
namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang
kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud
dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis
perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” (
kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ”
(kodisi tersenyum) bermakana menguji.
2. Makna Kemujizatan Al-Qur`an
Berdsarkan sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang
diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat
yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat
Hissiy-Matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawy / immateri. Perbedaan
tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum
Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh karenanya
mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas pada
masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua,
secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan.
Auguste Comte(1798-1857) –sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- ia berpendapat
bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase
keagamaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan
penafsiran semua gejala yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang
diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika, yaitu manusia berusaha
menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada sumber dasar atau awal
kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau
fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan eksperimen sehingga
didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut11.
Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi
bahwa potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal
dan eternal.
Umumnya mukjizat para rasul berkaitan dengan
hal yang dianggap bernilai tinggi dan sebagai keunggulan oleh masing-masing
umatnya pada masa itu. Misalnya pada zaman nabi Musa lagi ngeternnya tukang
sihir, maka mukjizatnya sebagaimana tertera dalam QS. Al-a’raf: 103-126,
As-Su’ara’: 30-51, dan Thoha: 57-73. pada nabi Isa adalah zaman perdukunan /
tabib maka mukjizatnya adalah seperti pada QS. Ali Imran: 49 dan Al-Maidah:
110. Dan pada zaman Muhammad lagi marak-maraknya sastra sehingga mukjizat yang mach
adalah Al-Qur`an12.
Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama
saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di
dalamnya.
Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek Basaha dan
Sastra
Dari segi kebahasaan dan kesastraannya
Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa
masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai
makna yang dalam. Usman bin Jinni(932-1002) seorang pakar bahasa Arab
-sebagaimana dituturkan Quraish Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata
dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah
bahasa yang tinggi13.
Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada
fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk
menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi
yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan
terlihat dari balgoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam
mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif
antara Autor(Allah) dan penikmat (umat)14.
Kajian mengenai Style Al-Qur`an,
Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan
huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat
serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip
Az-Zarqoni- keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan
ghunnah(nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan
musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang
lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam.
Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an
mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat
Al-Kahfi(18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang
berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan
mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda
dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah
sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra) yang prosais dan
puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s
Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah Soothsayer
Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis dengan
ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.15
Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat
Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi
yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia
untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian
dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam
ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.16
Selain efek
fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf Al-Qur`an tersebut
menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip
Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah Al-Qur`an al-karim fi Juz
‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi
kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan
bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan getaran bumi dan
langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari’ah terkesan lambat tapi
kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari
kiyamat.17
Dari pemilihan
kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat
beragam. contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta. علق diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang
menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat
menggunakan ميل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan
memiliki dengan ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة ,
terus الهوى ,
dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق ,
bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka
menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu
mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليه
.18
yang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing.
Meminjam bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya
pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalanya,
dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6,
Wahanal ‘Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba
(uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu
ada di kepala).19
Masih dalam
konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula deviasi(penyimpangan untuk
memperoleh efek lain) misalnya dalam QS. Asy-Su’ara’, ayat 78-82. Pada ayat 78,
79 dimulai dengan lafal allazi, pada ayat 80 dimulai waidza,
namun pada ayat 81, 82 kembali dengan allazi, dan fail pada ayat
78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama (saya)
tentu kalau di’atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi pemanfaatan
pronomina hua (هو). Lafal yahdiin,
yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa didahului promnomina
tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan adalah munculnya variasi
struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut tersa baru dan tidak
menjemukan20.
Selain itu
keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik
keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata
dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan
akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya الحياة dan الموت masing-masing
sebanyak 145 kali. النفع dan الفساد sebanyak 50 kali dan seterusnya. Kata dan sinonimnya
misalnya, الحرث dan الزراعة
sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata
dengan penyebabnya misalnya, الاسرى (tawanan) dan الحرب
sebanyak 6 kali, السلام dan الطيبات sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan
akibatnya contohnya, الزكاة dan البركات sebanyak 32 kali,الانفاق
dan الرضا sebanyak 73 kali.21
Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut:
- Kelembutan Al-Qur`an secara lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
- Keserasian Al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan.
- Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus.
- Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
- Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
- Mencakup dan memenuhi persyaratan global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
- Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat.22
JAKARTA
28/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar