Pengantar
Kumpul Kebo atau Samen Leven merupakan fenomena sosial yang ada ditengah
masyarakat Indonesia tidak terkecuali mahasiswa sebagai kaum muda penerus
kehidupan bangsa Penlitian awal pada bulan November 2009-Januari 2010 yang melibatkan 98 mahasiswa UniversitasEsa Unggul yang dipilih secara acak sebagai responden menunjukkan bahwa sikap responden yang mendukung dan tidak mendukung kumpul kebo mempunyai proporsi yang sama besar walupun berbeda secara siginifikan dalam komponen sikap yang menonjol bagi yang mendukung atau tidak mendukung.
Kumpul kebo yang berarti ‘hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan’ dipakai orang untuk menggantikan kata samenleven (bahasa Belanda).
Ungkapan ini bukanlah ungkapan yang benar dalam bahasa Indonesia karena kumpul kebo diambil dari bahasa daerah. Jika kita menghendaki kumpul kebo itu menjadi ungkapan bahasa Indonesia, bentuknya harus kita ubah menjadi kumpul kerbau karena kata Indonesia yang benar adalah kerbau bukan kebo.
Pengertian
Kumpul Kebo
Istilah ‘kumpul
kebo’ sepanjang hemat penulis merupakan istilah asli Indonesia. Kata ‘kumpul’ yang artinya dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) : bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok
(tidak terpisah-pisah); berhimpun; berkampung; berapat (bersidang); berkerumun.
Lalu ‘kebo’ artinya : kerbau (http://bahasa. kemdiknas.go.id/). Sudah tentu
yang dimaksudkan adalah arti kiasan, bukan arti yang sebenarnya : kerbau
berkumpul, tetapi pasangan laki-laki dan perempuan kumpul seperti kerbau. Oleh
sebab itu ada yang mengartikan ‘kumpul kebo’ adalah suatu perbuatan tinggal
bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan
yang sah (http://edukasi.kompasiana.com; http://smartpsikologi. blogspot.com/).
Kumpul kebo
merupakan istilah masyarakat Indonesia yang ditujukan kepada pasangan lain
jenis yang hidup bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya suami isteri
yang sah, tetapi tidak diikat oleh perkawinan yang sah dan dalam Islam disebut
dengan zina.
Mengapa Kumpul Kebo ?
Fenomena ini
(kumpul kebo) juga marak terjadi di kalangan selebriti. Model iklan dan pemain
sinetron Steve Emmanuel dan pasangan “kumpul kebonya” Andi Soraya, yang secara terang-terangan
mengakui telah “kumpul kebo” dan mempunyai seorang anak dari hasil perbuatannya
tersebut (Majalah Gatra, Edisi 47, beredar Jum’at 03 Oktober 2003). Mereka
mengungkapkan bahwa ini (“kumpul kebo”) merupakan ranah privasi yang
berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak seharusnya diurusi oleh
Negara. Mereka sudah sangat menikmati gaya hidup mereka sebagai pasangan yang
hidup bersama tanpa pernikahan resmi. (www.kompascybermedia.com)
Mereka
mengadopsi kehidupan “kumpul kebo” dari Kebudayaan Barat bahwa “kumpul kebo” adalah hal yang biasa. Padahal
seks sebelum menikah adalah hal yang tabu pada kultur Indonesia. Norma-norma
Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu
berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh
sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang
mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan
banyaknya pelaku “kumpul kebo”.
Fenomena
“kumpul kebo” juga terjadi di lingkungan kampus, salah seorang warga yang
bermukim di sekitar kampus tersebut pernah mengeluhkan praktek “kumpul kebo”
yang dijalani sejumlah mahasiswa – mahasiswi di tempat kos mereka masing-masing
yang berada disekitar kampus dan menjadi bagian dari pemukiman penduduk sipil.
(http://www.suplentonkjaya.com). Hidup bersama tanpa menikah di tempat
kos-kosan di kalangan mahasiswa kian marak terjadi. Mahasiswa yang melakukan
“kumpul kebo” biasanya adalah mahasiswa pendatang atau mahasiswa yang berasal
dari luar daerah. Mereka beralasan faktor keuangan menjadi pemicu mereka
melakukan “kumpul kebo”. Demi menghemat pengeluaran uang untuk sewa kos dan
dipengaruhi faktor lainnya, mereka memilih ‘tinggal bersama’ tanpa ikatan tali
pernikahan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan seorang mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul yang
melakukan hidup “kumpul kebo”, seperti berikut” Gue milih tinggal sama pacar
gue biar irit pengeluaran bayar uang kos, lagian ibu kosnya juga santai aja.
Ada faktor lain juga sih yang bikin gw mau ngelakuin pilihan ini, kayaknya
enjoy aja hidup serumah sama pacar gue soalnya dulu gue tuh suka banget nonton
film beverly hills. Kayaknya enak banget ya bisa setiap hari ketemu pacar,
bangun tidur ada pacar, mau tidur ada pacar juga. Daripada gue seks bebas gak
jelas mending gue tetap dengan satu orang. Lagian sekalian uji coba sebelum gue
nikah beneran, daripada nanti cerai mending dicoba dulu”
Faktor-Faktor
Berkumpul Kebo
Seorang
individu mengambil keputusan untuk melakukan “kumpul kebo” karena
didasari beberapa faktor, di antaranya :a) Ketidaksiapan Mental untuk Menikah
Individu ingin membentuk hubungan yang romantis dengan pasangannya sehingga dapat meyalurkan kebutuhan seksualnya tanpa harus terikat dalam pernikahan yang sah. Mereka yang melakukan “kumpul kebo”, umumnya tidak memiliki kesiapan mental untuk memasuki jenjang pernikahan walaupun dari segi usia dan pekerjaan atau ekonomi sudah memenuhi syarat. Menurut Popenoe dan Whitehead (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2001) menyatakan bahwa orang laki-laki cenderung menganggap “kumpul kebo” sebagai kesempatan melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya, sedangkan bagi wanita, “kumpul kebo” dianggap sebagai persiapan untuk memasuki pernikahan yang sah.
b) Ketidaksiapan secara Ekonomis
Dari segi usia, mungkin seseorang telah memenuhi syarat, namun dari segi ekonomis mungkin merasa belum siap untuk menikah. Mereka yang tergolong belum mandiri secara ekonomi, misalnya mereka yang masih duduk di bangku perguruan tinggi, lulus universitas atau akademi tetapi masih menganggur, atau sudah bekerja tetapi penghasilannya belum mencukupi jika dipergunakan untuk hidup berdua dalam pernikahan. Sementara itu, dorongan seksual dari dalam dirinya sudah seharusnya memperoleh penyaluran secara teratur dan sah dari segi hukum perkawinan. Dengan kondisi tersebut, akhirnya mereka sering kali hamya berpikir dalam jangka pendek, yaitu yang penting bagaimana kebutuhan biologis tersebut segera dapat terpenuhi, tetapi dengan konsekuensi mengabaikan nilai-nilai agama, norma sosial dan etika. Akhirnya, mereka memilih “kumpul kebo” sebagai alternatif terbaik.
c) Pengalaman Traumatis sebelum dan sesudah Pernikahan
Bagi seorang individu yang telah menjalin hubungan dengan lawan jenis, tetapi putus. Akhirnya mengalami patah hati, dengan perasaan sangat kecewa (frustasi), sedih, putus asa, dan dendam, individu memilki pemikiran (niat) untuk tidak menikah secara resmi. Akhirnya, mereka pun melakukan “kumpul kebo” dan tinggal serumah dengan pasangan hidupnya. Mereka hidup bersama sehingga dapat saling membagi cinta kasih dan menyalurkan hasrat seksual.
Bila salah satu atau kedua orang yang melakukan “kumpul kebo”, sebelumnya pernah menikah, namun kemudian bercerai. Misalnya, karena ketidaksetiaan pasangan hidupnya, kemudian terjadi perselingkuhan. Mereka merasa sakit hati dan kemudian memutuskan unutk hidup bersama dengan orang lain tanpa didasari ikatan pernikahan yang sah.
Hukum Zina dan
Kumpul Kebo
Disamping itu dalam RUU KUHP delik
zina dan kumpul kebo hanya masuk pada delik aduan sehingga kerangka hukum bagi
pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat, serta juga tidak dijelaskan
secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada
dalam delik tersebut[9]. Begitu juga dalam hukum Islam yang bersumber pada
al-Qur'an dan Hadis, tidak dijelaskan secara rinci terhadap delik zina dan
kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, al-Qur'an dan Hadis hanya memberikan
penjelasan terhadap sanksi yang harus dijatuhkan terhadap pelaku. Fakta inilah
yang mengundang sejumlah kalangan ulama' untuk memberikan pendapat terhadap
kriteria delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman. Dan tentunya
masih banyak pendapat para ulama' yang menjelaskan tentang kriteria delik zina
dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, yang jelas orang yang melakukan
delik zina dan kumpul kebo didasari suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan.
Disamping kriteria, zina dan kumpul kebo, juga mencakup tiga unsur, yaitu
unsur formil, materiel, dan unsur moril. Pelaku zina dan kumpul kebo yang wajib
dijatuhi hukuman adalah mereka yang mampu mempertanggung jawabkan pidananya.
Jadi secara garis besar kriteria
zina dan kumpul kebo adalah:adanya persetubuhan, adanya perbuatan yang
diharamkan, perbuatan tersebut didasari suka sama suka, perbuatan tersebut
dilakukan oleh seorang mukallaf dan perbuatan tersebut dilarang oleh syara'.
Apabila dari segi kriteria,unsur dan syarat-syarat lain ada pada pelaku delik
zina akan dijatuhi hukuman had, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
al-Qur'an dan as-Sunnah. Bagi pezina muhsan akan dikenakan hukuman rajam sampai
mati, hukuman ini diberikan karena pezina muhsan tidak bisa menjaga keihsanan
pada dirinya. [10]
Sedang bagi kumpul kebo (ghairu muhsan) bentuk sanksinya adalah hukuman
jilid seratus kali dan pengasingan (taghrib), ditetapkan hukuman jilid adalah
untuk memerangi psikologis yang mendorong terjadinya jarimah kumpul kebo
(ghairu muhsan).
Pernikahan
Benteng Zina dan Kumpul Kebo
Tujuan
perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam,
Allah berfirman :“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
JAKARTA 20/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar