JIDAL DALAM AL-QUR’AN
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.(Q.S. An-Nahl:125)
Muqaddimah
Jadal
merupakan sebuah salah satu tema tertentu dalam pembahasan dalam ilmu al-qur’an
dimana ada salah seorang Ulama’ Mutaakhkhirin yang menulis secara khusus
tentang topik ini, beliau adalah al-‘Allamah Sulaiman bin Abdul qawi bin Abdul
Karim, yang dikenal dengan Ibnu Abul ‘Abbas al- Hanbali Najmuddin at-Tufi wafat
pada 715 H. Secara naluri memang setiap seseorang mempunyai akal dan pemikiran
yang berbeda-beda, sehingga menjadikan antara mereka saling mengutarakan dan
mengungkapkan pemahaman mereka tentang sesuatu. Maka jika apa yang
disampaikannya berbeda dengan yang lain maka terjadilah perdebatan. Begitu juga
pada zaman Rasulullah SAW yang mana beliau menghadapi orang-orang Arab yang
mempunyai karakter yang keras, sehingga jika Nabi menyampaikan wahyunya sering
ditentang oleh masyarakat Arab bahkan mendustakannya.
Akan tetapi karena Nabi Muhammad memang
seorang Rasul yang sangat sabar yang diutus Allah untuk menyampaikan
risalahNya, beliau sampaikan dengan cara yang lembut. Orang Arab terkenal
dengan ahli bahasa dan syair yang bagus, tapi ketika menghadapi Al-Qur’an yang
lebih tinggi dan indah bahasanya sehingga mereka tidak dapat menandinginya
sedikitpun.
Defiisi Jadal Al-Qur’an
Secara bahasa jadal berasal
dari kata جَدَلَ-يَجْدُلُ – جُدُوْلًا yang artinya صَلُبَ وَ قَوِيَ atau dalam arti lain الحَبًّ : قَوِيَ فِى سنبله[8]
Adapun secara istilah Jadal dan
Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk
mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata جَدَلْتُ الحَبْل yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak
itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari
pendirian yang dipeganginya.[9]
Dalam literatur lain disebutkan
depinisi “Al-jadal ” dan al-jidal, maknanya bertarung dalam bentuk beradu
dan tewas menewas. asal kalimat ini ialah ” saya menyimpul tali ”
yakni……apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul” ialah
tali yang telah dikemas kuatkan simpulannya.[10] Dengan maksud, seolah olah
mereka yang berdebat saling memperkuatkan hujjah dan menyimpulkannya,
sebagaimana beliau menguatkankan simpulan tali, supaya dengan menguatkan
hujjahnya beliau akan dapat menewaskan lawannya.
Sedangkan
menurut istilah terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama antara lain,
Menurut Ibn Sina, jidal adalah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan
berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Al-Jurjani berpendapat bahwa jidal
ialah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan
bicara dari pendirian yang dipeganginya. Seiring pendapat di atas, menurut
tafsir an-Nasafi – dalam Muinzier Spurata dan Harjani –berbantahan dengan cara
yang baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara
lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau
dengan menggunakan perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangun jiwa dan
menerangi akal pikiran (Slamadanis, 2003:168).
Sayyid Muhammad
Thantawi berpendapat bahwa Mujadalah adalah suatu upaya yang bertujuan
untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti
yang kuat. Ini mengandung arti, berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang
sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak,
lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu
(perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal
fikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan
dalam agama (Slamadanis, 2003:168)..
Jadi kata “jadilhum
billati hiya ahsan” dalam ayat di atas, bermaksud bantahlah dengan cara
yang lebih baik, kalau telah terpaksa timbul perdebatan atau pertukaran
pikiran, yang sekarang disebut dengan polemik, ayat ini menyuruh agar dalam hal
yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang
sebaik-baiknya. Di antaranya ialah membedakan antara pokok masalah yang dibahas
dengan perasaan benci atau saying kepada pribadi yang diajak berbantah.
Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti tentang ajaran Islam, lalu
dengan sesukanya mencela Islam, orang ini dibantah dengan jalan yang
sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak fikirannya, sehingga dia menerima. Tetapi
kalau terlebih dahulu hatinya telah tersakiti karena kita membantah dengan cara
yang salah, mungkin ia enggan menerima kebenaran, sekalipun hati kecilnya
meyakini. Di sinilah mujadalah berperan sebagai metode dalam berdakwah
(hamka, 1987:319).
Metode Berdebat yang ditempuh al-Qur’an
Qur’an Al-Karim dalam berdebat dengan para
penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat
dimengerti kalangan awam dan orang ahli, ia membatalkan setiap kerancuan vulgar
dan mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslubb yang konkrit
hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak
penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh
para ahli kalam yang meemerlukan adanya muqadimmah (premis) dan nafiah
(kongklusi), seperti dengan cara beristidlal (inferensi) dengan sesuatu yang
bersifat kully (universal) atas yang juz’iy (partial) dalam qias syumul,
beristidlal dengan salah satu dua juz’iyat yang lain dalam qias tamtsil, atau
beristidlal dengan juz’iyat kullly dalam kias istiqra. Hal itu disebabkan:
A. Qur’an datang dalam bahasa Arab dan menyeru mereka
dengan bahasa yang mereka ketahui.
B. Bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa
yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam
beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih effective hujjahnya.
C. Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan
mempergunakan tutur kata yang pelik, merupakan kerancuan dan teka-teki yang
hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas). Cara demikian yang biasa ditempuh
para ahli mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil
tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam Qur’an
merupakan dalalah tertentu yang dapat memberikan makna yang ditunjuknya secara
otomatis tanpa harus memasukannya ke dalam qadiyah kulliyah (universal
posisition)
Mengapa
Terdapat Jadal Dalam Alquran ?
hal ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah
1.karena Allah sendiri telah
berfirman dalam Alquran yang berbunyi :
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779],
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan[780] siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
[779] Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti
bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
[780] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung
keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini,
Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan
nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
2.membantah pendapat para penentang dan lawan serta membantah argumen mereka
karena mereka cenderung berbantahan tapi mereka tidak mampu mendatangkan bukti
yang kuat dalam pembicaraan.
3.membungkam lawan bicara dalam ber sengketa dan tetap melawannya,
sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang
dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab
itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan
(sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal Telah
diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)
?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", Kemudian
(sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya[491].
[491] perkataan biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya
adalah sebagai sindiran kepada mereka, seakan-akan mereka dipandang sebagai
kanak-kanak yang belum berakal.
4.memenangkan perselisihan dan menetapkan dengan menjelaskan bahwa tuduhan
yang dituduhkan oleh orang musyrik itu tidak seorang juga yang mengetahuinya,
sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
100. Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah,
padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan
mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan
perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan[495]. Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.
101. Dia Pencipta langit dan bumi.
bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia
menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu.
[495] mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak seperti orang
Yahudi mengatakan Uzair putera Allah dan orang musyrikin mengatakan malaikat
putra-putra Allah. mereka mengatakan demikian Karena kebodohannya.
Ayat ini meniadakan bahwa Allah itu tidak mempunyai ibu bapak dan tidak
mempunyai anak. Tidak seorang pun yang menjadi anak Allah. Setiap sesuatu pasti
ada yang memperbuat dengan iradahnya. Dia menjadikan semuan yang ada di ala
mini dan mengetahui segala sesuatu.
5.mempersempit sifat-sifat, membatalkan, satu diantaranya itu menjadi sebab
bagi hukum, seperti firman Allah yang berbunyi:
143. (yaitu) delapan binatang yang berpasangan[514], sepasang
domba[515], sepasang dari kambing[516]. Katakanlah: "Apakah dua yang
jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam
kandungan dua betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar
pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar,
144. Dan sepasang dari unta dan
sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan
ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? apakah
kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan Ini bagimu? Maka siapakah yang lebih
zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
[514] artinya empat pasang, yaitu sepasang biri-biri, sepasang
kambing sepasang unta dan sepasang lembu
[515] maksudnya domba jantan dan betina
[516] maksudnya kambing jantan dan betina
Tujuan dan Fungsi dari Metode Dakwah Mujadalah
Beranjak dari
hakikat metode dakwah mujadalah di atas maka tujannya untuk membawa
kepada petunjuk dan kebenaran yang hakiki. Tujuan dari metode mujadalah al-lati
hiya ahsan yakni untuk membahas dan menemukan pemecahan semua problematika yang
berkaitan dengan dakwah sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan
jalan keluarnya (Munir, 2003: 23). Di dalam surat al Nisa’ 107 ayat ini
menunjukkan etika mujadalah dengan orang orang yang berkhianat kepada Islam,
karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia semata,
bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetapi mengingkari kebenaran
Islam dan membencinya. Maka dalam hal ini Allah SWT melarang melayaninya. Untuk
itu dapat mewujudkan tiga hal polok, yaitu :
- Memperbaiki sasaran dan tujuan dakwah, yaitu memberikan bayan kepadanya
- Memperbaiki pendekatan dan bentuk dakwah,
- Memperbaiki hasil dakwah yang belum berhasil.
Dengan
demikian mengenai mujadalah terdapat pada surat an Nahl 125 , para ulama
mengeluarkan pendapat sama yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa kepada
pertikaian, kebencian, akan tetapi membawa kepada kebenaran.
Metode
mujadalah ini pada prinsip diutamakaan kepada objek dakwah yang mempunyai
tipologi antara menerima danmenolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan
kepada mereka. Pada mereka yang semacam ini mujadalah memainkan
peranannya, sehingfga ia (objek dakwah) dapat menerima dengan perasaan mantap
dan puas.l mak metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menmabha
wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan
jawaban/bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan
perasan mereka.
Berdasarkan
analisa di atas debat salah satu metode dakwah, yaitu debat yang baik,
dad argumentasi dan tidak tegang serta memojokkan sampai terjadi pertengkaran.
Memang berdebat pada umumnya adalah mencari kemeneangan dan bukanmencari
kebenaran,sehingga tidakjarang terjadi munculnya permusushan. Maka debat sebagi
metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan Islam.
Kecuali itu , berdebat efektif dilakuakn hanya kepada orang-orang yang
membantah akan kebeneran Islam.Sedangakan objek dakwah yang masih kurang
percaya atu kurang mantap terhadpa kebneran Islam (tidak membantah) belum
diperluakan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesame ulama
(intelektual) berdebat adalah rahma. Sedangakn dikalangan masyarakat awam
hanyalah akan menimbulkan permusuhan dan pertengkaran.
Urgensi Mempelajari Jidalul Qur’an
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui
penyampaian dari Nabi sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia. Sebelum Nabi
Muhammad diutus menyampaikan risalahNya, keadaan orang Arab pada waktu itu
sangat bejat moralnya dan masih menyembah berhala. Sehingga Nabi Muhammad butuh
waktu yang panjang untuk mengembalikan pada akidah yang benar. Disamping itu
orang Arab sangat keras wataknya tapi masalah bahasa sangat menguasai dan pakar
dalam hal itu. Sehingga ketika mereka menerima ajaran Rasulullah mereka sering
menentang bahkan mendustakannya. Di antara hikmahnya adalah:1. ketinggian bahasa alqur’an membuat mereka tidak mampu menandinginya.
2. bahasa alquran sangat halus dalam mendebat.
3. betapapun orang arab sangat mahir dalam bahasa, mereka tidak mampu menjawab alquran.
4. menunjukkan bahwa manusia itu sangat terbatas pengetahuannya yang tidak patut untuk menyombongkan dirinya.
5. alquran menerangkan bahwa dalam menyampaikan ajaran atau mengajak kepada kebaikan diharuskan dengan cara yang sopan santun sehingga orang menjadi tertarik untuk mengikutinya.
6. apabila orang yang diajak kebaikan malah menentang dan mengajak berdebat, maka debatlah dengan yang lebih baik. Dan sampaikan dalil yang bisa diterima olehnya
Demikian
sedikit penjelasan dari kami mengenai jadal (debat) dalam alquran, semoga ada
guna dan manfaatnya. Sehingga bisa menambah khazanah keilmuan pada kita.
Manfaat
Mengetahui Jadal Dalam Alquran
- mengajarkan kepada umat Islam bagaimana cara mendebat orang lain dengan tata aturan yang sesuai dengan ajaran Islam.
- agar umat islam dapat membantah apa yang dituduhkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik dengan bantahan yang paling baik.
- umat islam diajarkan untuk menghargai pendapat orang lain selama orang tersebut tidak mengganggu keyakinan umat islam dengan pendapat mereka.
- mendidik dan menanamkan ke dalam hati manusia bahwa sungguh mulia Islam dengan cara membantah lawan bicaranya dengan cara yang baik sehingga orang lain tertarik kepada Islam.
- Allah menyebutkan ayat-ayat kauniyah agar dijadikan dalil bagi sendi-sendi akidah. Seperti firman Allah dalam suratAl-baqarah:21-22.
- Menetapkan pembicaraan dengan jalan istifham.
- Mengemukakan dalil-dalil bahwa Allah adalah tempat kembali.
- Membatalkan tuduhan lawan dalam bersengketa dan tetap melawannya.
- Sabru dan taqsim, yaitu mempersempit sifat-sifat, membatalkan, dan menjadikan yang satu sebab bagi yang lain. Sepaerti firman Allah dalam surat Al-an’am:143-144.
- Mengalahkan lawan dengan cara menjelaskan bahwa tuduhan yang diajukannya itu tidak seorangpun yang mengetahuinya.
- Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumenrasi orang kafir.
- Jawaban Allah tentang pembenaran akidah dan persoalan yang dihadapi rasul.
- Layanan dialog bagi orang yang benar-benar ingin tahu,kemudian hasilnya itu dijadikan pegangan dan semacamnya, seperti jawaban Allah atas kegelisahan Nabi Ibrahim.
- Sebagai bukti dan dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia,seperti dialog Nabi Musa dengan Fir’aun(QS. Al-syu’araa:10-51)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Husin al-Muqaddasi, Fath al-Rahman li
al-thalib al-ayat al-Qur’an. (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.).
2.Jalaluddin ‘Abrurrahman al-Suyuuthi (imam al-Suyuti), Al-Itqan fii
‘Ulumil Qur’an, Juz 1, Darul Hadits, Kairo Mesir
3.Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka: 1998).
4.M. Hasbi AshShiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an/ tafsir, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992)
5.Manna’ Khalil al-Qaththan,(Trjm; Drs. Mudzakir) Studi
Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera Antarnusa, 2002).
6.M. Ibnu ‘Uluwi al-Maliki al-Husaini, Zubdzatu
al-Itqan Fii ‘Uluumi al-Qur’an.(Arab Saudi: Dar al-Syuruq)
7.Qutb, Sayyid,
Fiqh ad Da’wah, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1970
8.Salmadanis,
Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
9.Shihab, M.
Quraish, Tafsir al- Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet.IV
10..[8] Al-Munjid Fii Lughati wa Al-A’laam. Hal
82
11.[9] Manna’ Khalil al-Qattan(trjmah; Drs,
Mudzakir AS), Studi Ilmu-ilmu a-Qur’an, Litera Antar Nusa, Halim Jaya,
Jakarta, 2002. hal 426
12.[10] Diakses pada tanggal 27-Okt 2008, http://www.geocities.com/zam8557/was4.html
JAKARTA
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar