MERAIH RIDHALLAH
27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.AL-FAJR
Ridho Hamba
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan“menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitandengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allahakan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalubersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Iaakan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajathamba-Nya tersebut.
Makna Ridho
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Rida adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada usahanya yang maksima dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Dalam hadits atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemuisahabat – sahabat Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orangmukmin?” , lalu mereka diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”.Beliau SAW bersabda lagi: “ apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata:“ kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana,dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”, kemudian Nabi SAW bersabdalagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan Ka’ba”.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakantanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karenadidalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Ridha tidak berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan olehAllah swt. Walaupun dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apayang diberikan Allah dengan sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa adakeinginan maupun usaha untuk mengubah situasi yang telah terjadimenjadi lebih baik lagi.
Ridha menurut sufi wanita Rabi'ah al-Adawiyah mengatakan:''kapanseorang hamba menjadi orang yg ridha? lalu Rabi'ah menjawab, ''Bilakegembiraanya waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraanya dikalamendapat karunia''.
Pangkal dari segala ridha adalah akad.artinya ,keabsahan akad itutergantung keridhaan pihak pihak yg berkad.untuk itu suatu akad biladilakukan dengan terpaksa makan akadnya tidak sah seperti sabda Rasulsaw:''Umatku tidak diminta pertanggung jawabanya jika merekatersalah,terlupa ,dan terpaksa{HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah}.
Sabar berbeda dengan ridha. Sabar adalah menahan diri dari amarah dankekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang.Sementara ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah swt danmembiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya.Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruhyakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat, ia mampu menepis seluruhrasa sakit dan derita.
Anas bin malik meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
اِنَّ اللهَ اِذَا اَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ لَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ عَلَيْهِ السُّخْطِ
Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan murkaNya.[1]
Ibnu Mas’ud berkata, sesunguhnya Allah swt dengan keadilan dan ilmuNyamenjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha, sertamenjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan dankemurkaan.
Ridho Menurut Sufi
Bagi al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan manifestasi daripada
keredhaan hamba.Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.
Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Menurut Zu al-Nun al-Misri, ridha ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Pendapat senada juga pernah diungkapkan oleh Imam al-Qusyairi, katanya orang yang memiliki sikap ridha ialah orang yang tidak menentang (rela menerima) apa yang telah ditetapkan Allah. Kemudian, menurut Abu Bakr Tahir, "Ridha adalah melepaskan dan mengeluarkan rasa tidak senang dari dalam hati, sehingga tidak ada lagi perasaan selain dari rasa senang dan gembira." Dan Ibn Khafif mengatakan, "Ridha ialah tenangnya hati dalam menghadapi ketentuan-ketentuan Allah, menyesuaikan rasa hati dengan apa yang diridhai Allah dan apa yang telah dipilih Allah."
Ibn Khatib mengatakan: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Tingkatan Ridho
Ada tiga darjat rida yang disimpulkan oleh Abdullah al-Ansari al-Harawi dalam Kitab Manazil Sairin, yaitu :
1. Rida secara umum, iaitu rida kepada Allah sebagai Rabb dan
membenci ibadah kepada selainNya. Rida kepada Allah sebagai
Rabb ertinya tidak mengambil penolong selain Allah yang
diserahkan kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi
tumpuan keperluannya;
2. Rida terhadap Allah. Dengan rida inilah dibacakan ayat-ayat yang
diturunkan. Rida terhadap Allah meliputi rida terhadap qadha dan
qadarNya yang merupakan perjalanan orang-orang khawwas;
3. Rida dengan rida Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk
rida atau marah lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mahu melakukannya sekalipun akan diceburkan ke dalam nyalaan api.
Seorang sufi yang membina dirinya dengan keredhaan kepada Rabbnya
mencapai kemanisan iman. Dia akan merasakan bahawa Tuhan dengan asma’
dan sifatNya, sentiasa memberikan makna bererti dalam berperilaku dan
beramal. Setidak-tidaknya Ibnu Qoyyim al-Jauzi menjelaskan ada beberapa hal penting dalam membina keredhaan ke dalam diri iaitu:
1. Seorang sufi akan berada pada sisi hamba yang pasrah, ia akan
menerima kepasrahan dengan kesempurnaan hikmah, rahmat dan
kurnia;
2. Terjadinya sesuatu adalah berdasarkan kehendak Tuhan semata-mata;
3. Seorang sufi adalah seorang hamba yang menerima keputusan Tuhannya dengan keredhaan;
4. Seorang sufi adalah seorang yang mencintai, ia berbuat apa sahaja
untuk Kekasih yang dicintainya;
5. Seorang sufi akan meyakini keredhaannya terhadap keputusan
Tuhannya dan ini akan memberikan reaksi positif bagi pengembangan dirinya;
6. Seorang sufi merasakan terbukanya pintu-pintu keredhaan menuju Tuhan yang kemudiannya melahirkan kegembiraan dan kenikmatan.
Derajad Ridho
Maqam ridha lebih tinggi dan lebih bercahaya. Ini karena sementara mutawakkil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayakan seluruh urusannya kepada Allah swt. yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan, râdhi (orang yang telah mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang sâlik ditanya: “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab: “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak”. Yang dimaksudkannya adalagh maqam ridha.
Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa maqam ridha berada di bawah maqam mahabbah dan di atas maqam sabar. Karenanya sabar yang continue dan sungguh-sungguh akan menghasilkan ridha.
Hikmah Ridho
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Keutamaan Ridho
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati ‘Ady bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab, Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil? Ali bertutur, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.
Adalah Abu Darda mengunjungi seseorang yang menjelang ajal sambil memuji Allah swt. Abu Darda berujar, Anda benar. Sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu Dia senang jika diridhai.
Hasan al-Bashri berkata, Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, Aku tidak memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku. Dan beliau pernah ditanya, Dan apa yang paling anda senangi?, beliau menjawab, Semua yang ditetapkan oleh Allah.
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Abi Naufal (10-2-2011)
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.AL-FAJR
Ridho Hamba
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan“menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitandengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allahakan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalubersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Iaakan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajathamba-Nya tersebut.
Makna Ridho
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Rida adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada usahanya yang maksima dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Dalam hadits atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemuisahabat – sahabat Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orangmukmin?” , lalu mereka diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”.Beliau SAW bersabda lagi: “ apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata:“ kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana,dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”, kemudian Nabi SAW bersabdalagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan Ka’ba”.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakantanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karenadidalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Ridha tidak berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan olehAllah swt. Walaupun dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apayang diberikan Allah dengan sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa adakeinginan maupun usaha untuk mengubah situasi yang telah terjadimenjadi lebih baik lagi.
Ridha menurut sufi wanita Rabi'ah al-Adawiyah mengatakan:''kapanseorang hamba menjadi orang yg ridha? lalu Rabi'ah menjawab, ''Bilakegembiraanya waktu ditimpa bencana sama dengan kegembiraanya dikalamendapat karunia''.
Pangkal dari segala ridha adalah akad.artinya ,keabsahan akad itutergantung keridhaan pihak pihak yg berkad.untuk itu suatu akad biladilakukan dengan terpaksa makan akadnya tidak sah seperti sabda Rasulsaw:''Umatku tidak diminta pertanggung jawabanya jika merekatersalah,terlupa ,dan terpaksa{HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah}.
Sabar berbeda dengan ridha. Sabar adalah menahan diri dari amarah dankekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang.Sementara ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah swt danmembiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya.Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruhyakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat, ia mampu menepis seluruhrasa sakit dan derita.
Anas bin malik meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda :
اِنَّ اللهَ اِذَا اَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ لَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ عَلَيْهِ السُّخْطِ
Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan murkaNya.[1]
Ibnu Mas’ud berkata, sesunguhnya Allah swt dengan keadilan dan ilmuNyamenjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha, sertamenjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan dankemurkaan.
Ridho Menurut Sufi
Bagi al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan manifestasi daripada
keredhaan hamba.Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.
Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Menurut Zu al-Nun al-Misri, ridha ialah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Pendapat senada juga pernah diungkapkan oleh Imam al-Qusyairi, katanya orang yang memiliki sikap ridha ialah orang yang tidak menentang (rela menerima) apa yang telah ditetapkan Allah. Kemudian, menurut Abu Bakr Tahir, "Ridha adalah melepaskan dan mengeluarkan rasa tidak senang dari dalam hati, sehingga tidak ada lagi perasaan selain dari rasa senang dan gembira." Dan Ibn Khafif mengatakan, "Ridha ialah tenangnya hati dalam menghadapi ketentuan-ketentuan Allah, menyesuaikan rasa hati dengan apa yang diridhai Allah dan apa yang telah dipilih Allah."
Ibn Khatib mengatakan: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Tingkatan Ridho
Ada tiga darjat rida yang disimpulkan oleh Abdullah al-Ansari al-Harawi dalam Kitab Manazil Sairin, yaitu :
1. Rida secara umum, iaitu rida kepada Allah sebagai Rabb dan
membenci ibadah kepada selainNya. Rida kepada Allah sebagai
Rabb ertinya tidak mengambil penolong selain Allah yang
diserahkan kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi
tumpuan keperluannya;
2. Rida terhadap Allah. Dengan rida inilah dibacakan ayat-ayat yang
diturunkan. Rida terhadap Allah meliputi rida terhadap qadha dan
qadarNya yang merupakan perjalanan orang-orang khawwas;
3. Rida dengan rida Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk
rida atau marah lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak mahu melakukannya sekalipun akan diceburkan ke dalam nyalaan api.
Seorang sufi yang membina dirinya dengan keredhaan kepada Rabbnya
mencapai kemanisan iman. Dia akan merasakan bahawa Tuhan dengan asma’
dan sifatNya, sentiasa memberikan makna bererti dalam berperilaku dan
beramal. Setidak-tidaknya Ibnu Qoyyim al-Jauzi menjelaskan ada beberapa hal penting dalam membina keredhaan ke dalam diri iaitu:
1. Seorang sufi akan berada pada sisi hamba yang pasrah, ia akan
menerima kepasrahan dengan kesempurnaan hikmah, rahmat dan
kurnia;
2. Terjadinya sesuatu adalah berdasarkan kehendak Tuhan semata-mata;
3. Seorang sufi adalah seorang hamba yang menerima keputusan Tuhannya dengan keredhaan;
4. Seorang sufi adalah seorang yang mencintai, ia berbuat apa sahaja
untuk Kekasih yang dicintainya;
5. Seorang sufi akan meyakini keredhaannya terhadap keputusan
Tuhannya dan ini akan memberikan reaksi positif bagi pengembangan dirinya;
6. Seorang sufi merasakan terbukanya pintu-pintu keredhaan menuju Tuhan yang kemudiannya melahirkan kegembiraan dan kenikmatan.
Derajad Ridho
Maqam ridha lebih tinggi dan lebih bercahaya. Ini karena sementara mutawakkil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayakan seluruh urusannya kepada Allah swt. yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan, râdhi (orang yang telah mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang sâlik ditanya: “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab: “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak”. Yang dimaksudkannya adalagh maqam ridha.
Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa maqam ridha berada di bawah maqam mahabbah dan di atas maqam sabar. Karenanya sabar yang continue dan sungguh-sungguh akan menghasilkan ridha.
Hikmah Ridho
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Keutamaan Ridho
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati ‘Ady bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab, Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil? Ali bertutur, Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.
Adalah Abu Darda mengunjungi seseorang yang menjelang ajal sambil memuji Allah swt. Abu Darda berujar, Anda benar. Sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu Dia senang jika diridhai.
Hasan al-Bashri berkata, Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, Aku tidak memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku. Dan beliau pernah ditanya, Dan apa yang paling anda senangi?, beliau menjawab, Semua yang ditetapkan oleh Allah.
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Abi Naufal (10-2-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar