21. Sesungguhnya Telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (AL-AHZAB)
Makna Maulid
Maulid secara bahasa berarti tempat atau waktu
dilahirkannya seseorang [Boleh juga dikatakan maulid adalah mashdar
(asal kata) bermakna kelahiran (al-wiladah). Ini disebut mashdar mim.
[ed]]. Oleh karena itu, tempat maulid Nabi -Shollallahu alaihi wasallam-
adalah Makkah. Sedangkan waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul
Awwal pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan
bulan April tahun 571 M.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini, tapi
yang paling masyhurnya adalah:
1. Maulid Nabi adalah tanggal
8 Rabi‘ul Awwal.
Pendapat inilah yang
dikuatkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
sebagaimana yang akan datang, dan juga yang zhohirnya dikuatkan oleh Syaikh Nashiruddin
Al-Albany -rahimahullah- dalam kitab beliau Shohih
As-Sirah An-Nabawiah hal. 13. Beliau berkata dalam ta’liq
(catatan kaki),
“Adapun waktu hari
kelahiran beliau, telah disebutkan tentangnya dan tentang bulannya oleh
beberapa pendapat. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab asal [Yakni
kitab Sirah Rosulullahi -Shollallahu 'alaihi wasallam-
wa Dzikru Ayamihi wa Ghozawatihi wa Saroyahu wal
Wufud Ilaihi karya Al-Hafizh Ibnu Katsir
-rahimahullah-], dan semuanya mu’allaq, tanpa ada sanad yang bisa diperiksa dan
diukur dengan ukuran ilmu mustholah hadits, kecuali pendapat yang mengatakan
bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi -pent.) pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal.
Karena (tanggal ) ini telah diriwayatkan oleh Malik dan selainnya
dengan sanad yang shohih dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dan beliau adalah
seorang tabi’in yang mulia. Dan mungkin karena inilah, pendapat ini
dikuatkan oleh para pakar sejarah dan mereka berpegang padanya, dan (pendapat)
ini yang dipastikan oleh Al-Hafizh Al-Kabir Muhammad bin Musa
Al-Khowarizmy dan juga dikuatkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah …”.
2. Maulid Nabi tanggal 9 Rabi‘ul
Awwal.
Pengarang Nurul
‘Ainain fii Sirah Sayyidil Mursalin berkata, hal. 6,
“Almarhum Mahmud
Basya seorang pakar ilmu Falak menguatkan bahwa hal itu (hari
kelahiran Nabi) adalah pada Subuh hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal
yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Miladiyah dan juga bertepatan
dengan tahun pertama dari peristiwa Gajah”.
Syaikh Shofiyyur Rahman
Al-Mubarakfury -hafizhohullah- berkata dalam kitab beliau Ar-Rohiqul
Makhtum [Kitab beliau ini meraih peringkat pertama dalam
perlombaan mengarang Sirah Nabawiah yang diadakan oleh Rabithah Al-‘Alam
Al-Islamy pada tahun 1399 H], hal. 54,
“Pimpinan para Rasul
dilahirkan di lingkungan Bani Hasyim di Mekah pada subuh hari Senin
tanggal 9 bulan Rabi’ul Awwal tahun pertama dari peristiwa perang Gajah
dan bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M”.
Pendapat inilah yang
dikuatkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh Muhammad bin
‘Utsaimin -rahimahumallah-.
Syaikh Abdullah bin
Muhammad bin Humaid -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan tentang
Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di
negeri Maushil sebagaimana yang akan datang penjelasannya],
“Dia mengadakan perayaan
tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh
para ahli hadits [Ucapan ini jangan dipahami bahwa ahlul hadits menguatkan
bolehnya maulid, tapi maknanya bahwa ahlul hadits menguatkan bahwa hari
kelahiran beliau pada tanggal 9.[ed]] bahwa beliau -Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada malam itu (kesembilan) dan beliau wafat
pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan ulama”
[Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul
Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal. 49].
Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin
-rahimahullah- berkata setelah menyebutkan konsekuensi kecintaan kepada
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-,
“Maka ketika itu, jika bulan
ini (Rabi’ul Awwal) adalah bulan diutusnya Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam-, demikian juga dia adalah bulan dilahirkannya Rasul
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- berdasarkan pendapat yang
dinyatakan oleh para pakar sejarah. Hanya saja, tidak diketahui malam keberapa
beliau dilahirkan. Pendapat yang paling bagus adalah yang menyatakan bahwa
beliau dilahirkan pada malam ke 9 dari bulan ini (Rabi’ul Awwal) bukan
malam ke 12. Berbeda halnya dengan pendapat yang terkenal di sisi
kebanyakan kaum muslimin saat ini. Karena ini (yakni lahirnya beliau pada
tanggal 12) tidaklah memiliki landasan yang benar dari sisi sejarah.
Berdasarkan perhitungan para ahli falak belakangan, kelahiran beliau adalah
pada hari ke 9 dari bulan ini …”.
[Lihat Majmu Al-Fatawa
(7/357) karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, kumpulan Fahd bin Nashir
bin Ibrahim As-Sulaimany]
3. Maulid Nabi adalah tanggal
12 Rabi‘ul Awwal.
Muhammad bin Ishaq
bin Yasar berkata sebagaimana dalam Siroh Nabawiyyah (1/58)
karya Ibnu Hisyam -rahimahullah-, “Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dilahirkan pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal,
tahun Gajah”.
Akan tetapi pendapat ini
dilemahkan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -rahimahullah-.
Dalam kitab beliau Mukhtashor Siratur Rosul, hal.
18, beliau menyatakan,
“Beliau -‘Alaihis sholatu
wassalam- dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Qila
(dikatakan) [Istilah
qila (dikatakan) dengan bentuk kalimat pasif di kalangan para
ulama biasa digunakan untuk melemahkan suatu pendapat, dan ini adalah perkara
yang masyhur dan jelas bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab para ulama],
“tanggal 10”, dan qila (dikatakan) : “tanggal 12”, pada
hari Senin”.
Berdasarkan penelitian ulama
ahli sejarah Muhammad Sulaiman
Al-Mansurfury dan ahli astronomi Mahmud Basya, disimpulkan bahwa hari senin
pagi yang bertepatan dengan permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan
gajah dan 40 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan atau bertepatan dengan 20
atau 22 april tahun 571, hari senin tersebut bertepatan dengan tanggal 9
Rabi’ul Awal. (ar-Rahiqum al-Makhtum, al-Mubarakfuri).
Sejarah Pertama Mengadakan
Maulid ?
Disebutkan
para ahli sejarah bahwa kelompok yang
pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka
menamakan dirinya sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli
Bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa
kelompok batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah
Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama
sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di
zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam
umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah
ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in
dan para Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan: “Peringatan maulid Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun ulama
generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam Islam. Namun
peringatan ini terjadi setelah masa itu.”
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan
khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh
Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M )maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh
wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang
menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid inikembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka
mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Salahuddin, kisah Abou Izzad, dalam merayakan Maulid Nabi untuk pertama
kalinya (580 H/1184 M) mengadakan sayembara penulisan riwayat Nabi Muhammad
SAW. Pemenang sayembara itu adalah Syekh Ja’far Al-Barzanji. Hasil karyanya,
kemudian diberinama Kitab Al-Barzanji. Kitab itu ditulis untuk meningkatkan
kecintaan ummat kepada Nabi Muhammad SAW dengan harapan dapat meningkatkan
gairah dan semangat juang. Dalam kitab itu, jelas Abou Izzad, riwayat nabi
ditulis dengan bahasa sastra, ada puisinya bahkan ada kasidahnya. Juga
digambarkan keagungan akhlak Rasulullah SAW dalam sikap dan prilakunya
sehari-hari.
Hasil peringatan Maulid Nabi di era Salahuddin itu, ternyata sangat
mencengangkan. Semangat Ummat Islam untuk menghadapi prajurit Eropa dalam
perang salib kembali bergelora. Akhirnya pada tahun 583 H/1187 M, Salahuddin
dan pasukannya berhasil merebut Yerussalem dari tangan bangsa Eropa. “Kalau
pernah nonton film Kingdom of Heaven, kira-kira seperti itulah kisah Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi saat merebut kembali Yerussalem dan Masjidil Aqsa,” sebut
Abou Izzad, warga asal Indonesia yang sudah lama menetap di Cairo.
Hukum perayaan maulid Nabi
Pendapat yang anti maulid ?
1. Allah Taala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al
Maidah: 3).
Ayat di atas menjelaskan bahwa agama Islam telah sempurna tidak boleh
ditambah dan dikurangi, maka orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang
dibuat setelah rasulullah shallallahu `alaihi wasallam wafat berarti menetang
ayat ini dan menganggap agama belum sempurna masih perlu ditambah. Sungguh
peringatan maulid bertentangan dengan ayat di atas.
2. Sabda Nabi shallallahu `alaihi
wasallam :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». رواه أبوداود والترمذي
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap
bid`ah menyesatkan”. HR. Abu Daud dan Tarmizi.
Peringatan maulid Nabi tidak pernah dicontohkan Nabi, berarti itu adalah
bi’dah, dan setiap bi’dah adalah sesat, berarti maulid peringatan Nabi adalah
perbuatan sesat.
3. Sabda Nabi shallallahu `alaihi
wasallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ : متفق عليه
“Siapa yang menghidupkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam
dien kami, amalannya ditolak.” Muttafaq ’alaih
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرِنَا
فَهُوَرَدٌّ : رواه لمسلم
Dalam riwayat Muslim: “Siapa yang mengamalkan perbuatan yang tidak ada
dasarnya dalam dien kami, amalannya ditolak.”
Dua hadist di atas menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tidak dicontohkan
Nabi tidak akan diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, dan peringatan
maulid Nabi tidak dicontohkan oleh Nabi berarti peringatan maulid Nabi tidak
diterima dan ditolak.
4. Sabda Nabi shallallahu `alaihi
wasallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ». رواه أبوداود
قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
Barang siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka dia adalah bagian
dari kaum tersebut. HR. Abu Daud. Syaikh al-Albani berkata: hasan shahih.
Tradisi peringatan hari lahir Nabi Muhammad meniru tradisi kaum Nasrani
merayakan hari kelahiran Al Masih (disebut dengan hari natal) , maka orang yang
melakukan peringatan hari kelahiran Nabi bagaikan bagian dari kaum Nasrani
–wal’iyazubillah-.
Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85)
mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan
kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan
perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan
Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari
raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang
menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari
syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah
membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang
memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati
kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala
atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid
nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka
lebih mencintai rasul".
Pendapat yang Cinta Mulid ?
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan Maulid
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1.
Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT
berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ
هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: "Dengan kurnia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58.
2. Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis
oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam
tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan
menyambut kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah memberi
jawaban secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan
bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun
pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan
perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh
perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara dari
perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah
hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang
melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
3. Selain pendapat di atas, mereka juga
berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di
neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira
ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri
tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya
diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu
memberi kabar kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam
kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi
jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad Dimasyqi
menulis dalam kitabnya Mawrid as Sadi fi Mawlid al Hadi : “Jika
seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya”
(surat Al Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan
hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran
Ahmad dan meninggal dengan menyebut “Ahad”?
4. Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para
pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah apa yang mereka
katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam
kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina‘ bahwa Ibnu
Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk Maulid Nabi di penghujung
hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang mulia, utama, dan malam
yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin,
malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang
tidak ternilai.”
5. Para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullahi
shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin karena itu adalah hari
kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal
manusia.
Abu Qatadah Al Anshari meriwayatkan bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya mengapa beliau berpuasa
pada hari Senin, menjawab, “Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku
diangkat menjadi Rasul.”
Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim,
kitab As Shiyam (puasa).
Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu
Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai
kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan
mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah
SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu
kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang
ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah
seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an,
beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk
menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa
menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu
ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila
tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan,
seperti membeli buku porno dsb.
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang
baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid
Rasulullah".
Pendapat Abu Shamah (guru Imam
Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah
apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w.
dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia,
sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan
kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk
syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam
semesta".
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa
Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak
diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya
terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa
melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah
melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang
kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke
Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau
bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah
menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu
semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada
hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara
bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan
dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an
dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi
ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca
Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan
Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih.
Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka
hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya
mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka
begitu seterusnya".
Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh
Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang
disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan
senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah
sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang
disunnahkan dan bahkan diwajibkan".
Imam Suyuti
berkata: "Menurut saya
asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan
kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya.
Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah.
Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW,
menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang
mulia".
Syeh Azhar Husnain
Muhammad Makhluf
mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul
Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur
dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w.
di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu'
dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan
kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah,
menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah
s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan
termasuk sunnah hasanah".
Seorang
ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan
perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban
yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang
sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat"
Etika merayakan Maulid Nabi
Untuk
menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar,
sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
Allah
SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah.
Syekh
Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan
maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan
Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan,
khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar".
3.
Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan
keutamaan-keutamaan beliau.
3.
Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
4.
Meningkatkan silaturrahmi.
5.
Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran
Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita.
6.
Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan
mensuri tauladani Rasulullah s.a.w.
Kesimpulan Hukum Maulid
Melihat dari pendapat-pendapat ulama
di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar
peringatan maulid adalah sebagai berikut:
1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam.
2.
Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan
yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi
syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad
dan ekspresi kecintaan kepada beliau.
3.
Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan
sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak
Islami.
Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.
Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.
Hikmah
Maulid
Pertama, meneguhkan kembali kecintaan kepada
Rasulullah SAW. Bagi seorang mukmin, kecintaan terhadap Rasulullah SAW. adalah
sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan. Kecintaan pada utusan
Allah ini harus berada di atas segalanya, melebihi kecintaan pada anak dan
isteri, kecintaan terhadap harta, kedudukannya, bahkan kecintaannya terhadap
dirinya sendiri. Rasulullah bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ – رواه البخاري
Tidaklah sempurna iman
salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan
anaknya. (HR. Bukhari).
Kedua, meneladani perilaku dan perbuatan
mulia Rasulullah SAW. dalam setiap gerak kehidupan kita. Allah SWT. bersabda :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا – الأحزاب 21
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Kita tanamkan keteladanan
Rasul ini dalam keseharian kita, mulai hal terkecil, hingga paling besar, mulai
kehidupan duniawi, hingga urusan akhirat. Tanamkan pula keteladanan terhadap
Rasul ini pada putra-putri kita, melalui kisah-kisah sebelum tidur misalnya.
Sehingga mereka tidak menjadi pemuja dan pengidola figur publik berakhlak rusak
yang mereka tonton melalui acara televisi.
Ketiga, melestarikan ajaran dan misi
perjuangan Rasulullah, dan juga para Nabi. Sesaat sebelum menghembuskan nafas
terakhir, Rasul meninggalkan pesan pada umat yang amat dicintainya ini. Beliau
bersabda :
تَرَكْت فِيكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صلى
الله عليه وسلم – رواه مالك
“Aku tinggalkan pada
kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya, yakni Kitabullah dan
sunnah Nabi-Nya sallallahu alaihi wa sallam” (HR. Malik).
Rasul juga mewariskan misi
perjuangan kepada generasi penerus beliau, yakni para ulama’ dari masa ke masa.
Mereka, para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Rasulullah SAW. bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا
وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ أَوْفَرَ – رواه
أبو داود والترمذي وابن حبان
Sesungguhnya ulama’
adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dandirham, akan
tetapi ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia mengambilnya dengan bagian
sempurna. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Hibban).BY ABI NAUFAL
Jakarta 25/1/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar