ZIARAH KUBUR DALAM ISLAM
Dari Buraidah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
Proses hukum dan motivasi ziarah ke kubur
INGAT KEMATIAN |
Pada permulaan pengembangan Islam, Rasulullah melarang ummatnya untuk melakukan ziarah ke kubur. Adapun motivasi larangan itu adalah karena di jaman jahiliyah, kuburan itu menjadi salah satu sumber dan sasaran pembaktian kaum penyembah berhala. Bahkan jauh sebelum itu, di jaman Nabi Nuh a.s., sebagian kaumnya memandang kuburan itu sebagai satu tempat yang suci (kudus). Dengan larangan menziarahi kubur itu pada permulaannya, maka dapatlah dibendung kekhawatiran timbulnya kembali paham syirik, sedangkan iman dan tauhid yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada pengikut-pengikutnya baru saja pada taraf permulaan, belum berurat berakar dalam jiwa mereka.
Setelah pembinaan ajaran iman dan tauhid itu semakin kuat, Rasulullah menerima wahyu yang mengizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, sehingga beliau menunjukkan dengan perbuatannya sendiri kebolehan ziarah ke kubur itu.
Mengenai kasus Rasulullah menziarahi kubur ibunya, disebutkan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut:
"Nabi Muhammad s.a.w. menziarahi kubur ibunya. Beliau menangis, dan menangis pula orang-orang di sekelilingnya. Kemudian, Nabi berkata: Saya meminta izin kepada Tuhanku (Allah) supaya diperkenankan memohonkan doa ampunan untuk ibuku. Permohonanku itu tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, dan diizinkan. Berziarahlah kamu, agar kamu teringat kepada kematian." (riwayat Ahmad dan Muslim).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ziarah kubur itu dianjurkan, sebab hikmahnya akan mengingatkan dan menyadarkan umat manusia tentang kehidupan hari akhirat yang akan datang dan keharusan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi saat-saat kepastian yang mesti ditemukan oleh setiap orang yaitu kematian atau ajalnya suatu saat nanti.
Dari proses perkembangan tentang soal ziarah kubur itu, yang pada mulanya dilarang, kemudian diizinkan, dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa hukum Islam senantiasa memperhatikan kondisi ummat dan situasi suatu zaman.
Dalam satu hadist lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Abi Zar, Rasulullah menyatakan:
"Ziarahilah kubur, Anda dengan itu akan teringat ke akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena sesungguhnya hal itu menjadi obat mujarab yang mengandung pengajaran yang mantap. Sembahyangkanlah jenazah, mudah-mudahan hal itu akan menggugah hati Anda, sebab orang yang berdukacita berada di bawah naungan Ilahi dalam menghadapi tiap-tiap kebaikan." (Riwayat Hakim).
Dari berbagai hadist yang menganjurkan dan mendorong melakukan ziarah kubur itu, maka para ulama berpendapat bahwa hukum ziarah kubur itu ialah sunah (sunat). Adapun hikmathnya mengandung dua macam nilai.
Pertama, mengingatkan manusia pada kematian, bahwa pada saat yang tentu menurut ajal yang ditetapkan Tuhan, tiap-tiap orang akan kembali ke hadiratNya.
Kedua, untuk memohonkan doa ampunan (istighfar) kepada Allah SWT supaya dosa orang yang diziarahi kuburnya itu, diampunkan oleh Allah. Jadi ziarah kubur itu tidaklah boleh didasarkan untuk meminta restu, karena ada sesuatu hajat, meminta berkat dan lain-lain sebagainya. Kemudian ditaburkan bunga, dibakar kemenyan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak disyariatkan, bahkan merupakan bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Tetapi haruslah didasarkan kepada dua motivasi yang diterangkan di atas.
Adalah satu kenyataan, bahwa manusia pada umumnya selalu lupa dan lalai terhadap datangnya kematian. Dengan ziarah ke kubur itu, maka perbuatan itu dengan sendirinya mengingatkan manusia kepada kematian itu.
Sasaran hikmat yang kedua tentang ziarah kubur itu ialah memberikan pertolongan yang dapat dilakukan oleh orang (keluarga yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia, yang memohonkan doa ampunan pada Allah SWT terhadap dosa-dosa mereka. Pertalian kekeluargaan dan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) pada umumnya tidaklah hanya terbatas dalam kehidupan di dunia ini, tapi juga sampai-sampai dalam kehidupan sesudah mati dan di akhirat kelak.
Rasulullah menziarahi kubur para sahabat.
Rasulullah acapkali menziarahi kuburan para sahabat. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi sering-sering ziarah ke pekuburan di Madinah, dan setiap kali ziarah, beliau mengucapkan yang artinya:
"Keselamatan untuk kamu, hai penghuni-penghuni kubur. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosa kami dan dosa-dosa kamu. Kamu adalah orang-orang yang telah mendahului kami dan kami akan mengikuti jejakmu." (Riwayat Tirmizi).
Dalam suatu hadist yang lain, yang diriwayatkan dari Buraidah, diterangkan ucapan dan doa yang sering dibacakan oleh Rasulullah tatkala ziarah kubur, yang artinya sebagai berikut:
"Keselamatan untuk kamu, hai ahli kubur orang-orang Mukmin dan Muslim. Dengan kehendak Tuhan, kamipun akan menemui kamu. Kamu telah mendahului kami, dan kami akan menyusul. Kami mohonkan kepada Allah keselamatan untuk kami dan kamu." (Riwayat Ahmad dan Muslim).
Menurut keterangan Siti Aisyah, apabila giliran Rasulullah bermalam di rumahnya, maka biasanya di tengah malam beliau pergi menziarahi pemakaman Baqi'. Adapun Baqi' itu adalah satu pemakaman yang letaknya masih dalam kota Madinah, tidak berapa jauh dari Masjid Nabi, dimana dikuburkan sebagian besar para sahabat.
Ziarah kubur itu tidak tentu waktunya, dapat dilakukan pada saat-saat luang atau berbagai kesempatan. Tidak ada keistimewaan pada hari-hari tertentu, seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan lain-lainnya, yang di Indonesia dijadikan orang sebagai satu tradisi, padahal tidak disyariatkan mesti pada hari-hari tersebut.
Biasanya pada hari-hari tersebut, kuburan tak ubahnya seperti "pasar", ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berziarah, walaupun...mungkin sebagian besar daripadanya hanya ziarah sekali setahun. Ziarah hanya sekali setahun tidak banyak dapat menghunjamkan ke dalam hati nurani tentang kesadaran mengingat kematian.
Pada tahun-tahun pertama sesudah Siti Khadijah wafat, Rasulullah hampir satu kali seminggu ziarah ke kuburan sang istri yang beliau cintai itu. Diterangkan oleh Nafi', bahwa dia sendiri lebih dari 100 kali melihat Ibnu Umar ziarah ke kubur Nabi, Abu Bakar dan ayahnya sendiri (Umar bin Khattab).
Hukum Ziarah
kubur
Berziarah kubur
adalah sesuatu yang disyari’atkan di dalam agama berdasarkan (dengan dalil)
hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan ijma’
(kesepakatan).
a) Dalil dari
hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
Dalil-dalil dari
hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tentang
disyari’atkannya ziarah kubur diantaranya :
1. Hadits
Buraidah bin Al-Hushoib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam beliau bersabda :
إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
”Sesungguhnya
aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah
kuburan”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82) dan oleh Imam
Abu Daud (2/72 dan 131) dengan tambahan lafazh :
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ
الْآخِرَةَ
“Sebab
ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat”.
Dan dari jalan
Abu Daud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh Imam Al-Baihaqy (4/77),
Imam An-Nasa`i (1/285 –286 dan 2/329-330), dan Imam Ahmad (5/350, 355-356 dan
361).
2. Hadits Abu
Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, yang semakna dengan hadits Buraidah.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 3/38,63 dan 66 dan Al-Hakim 1/374-375 dan
Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hakim.
3. Hadits Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang juga semakna dengan hadits Buraidah
dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/376.
b. Ijma’
Adapun Ijma’
diriwayatkan (dihikayatkan) oleh :
1. Al-‘Abdary
sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam kitab Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab (5/285).
2. Al-Imam
Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah
Al-Maqdasy Al-Hambaly (541-620 H) dalam kitab Al-Mughny (3/517).
3. Al-Hazimy
sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam kitab Nailul Authar
(4/119).
Adapun hukum bagi
perempuan yang ziarah kubur terdapat perbedaan antara ulama:
1) imam nawawi dan imam yahya bin abil khoir sang perngarang kitab (BAYAN)mengkatakan bahwa perempuan berziarah tidak boleh dan perkataan ini syadz yaitu tidak bisa dipegang di dalam madzhab.
2) Adapun kebanyakan ulama mengkatakan bahwa hukumnya makruh tanzih.
3) Imam royani menyebutkan dua FATWA didalam kitabnya (ALBAHR)yaitu makruh dan tidak makruh dengan syarat aman dari fitnah akan tetapi tidak makruhlah yang paling benar (sohih).
4) Dan sohibul musatdzhiri mengkatakan di masalah ini terdapat perincian yaitu jikalau ziarah tersebut menjadikan orang yang ziarah tadi menjadi sedih dan sampai menangis maka hukumnya ziarah bagi orang tersebut yaitu HARAM, dan apabila orang tersebut menjadikan sebagai peringatan kepada dirinya bahwa dia juga akan mati hal tersebut hanya MAKRUH dan apabila perempuan tersebut perempuan tua maka hukumnya MUBAH hukumnya seperti perempuan tua tersebuta jikalau pergi ke masjid maka hukumnya hanya mubah.
1) imam nawawi dan imam yahya bin abil khoir sang perngarang kitab (BAYAN)mengkatakan bahwa perempuan berziarah tidak boleh dan perkataan ini syadz yaitu tidak bisa dipegang di dalam madzhab.
2) Adapun kebanyakan ulama mengkatakan bahwa hukumnya makruh tanzih.
3) Imam royani menyebutkan dua FATWA didalam kitabnya (ALBAHR)yaitu makruh dan tidak makruh dengan syarat aman dari fitnah akan tetapi tidak makruhlah yang paling benar (sohih).
4) Dan sohibul musatdzhiri mengkatakan di masalah ini terdapat perincian yaitu jikalau ziarah tersebut menjadikan orang yang ziarah tadi menjadi sedih dan sampai menangis maka hukumnya ziarah bagi orang tersebut yaitu HARAM, dan apabila orang tersebut menjadikan sebagai peringatan kepada dirinya bahwa dia juga akan mati hal tersebut hanya MAKRUH dan apabila perempuan tersebut perempuan tua maka hukumnya MUBAH hukumnya seperti perempuan tua tersebuta jikalau pergi ke masjid maka hukumnya hanya mubah.
Perbedaan hukum
antara laki-laki dan wanita dalam masalah ziarah kubur ini disebabkan oleh
adanya hadits yang menunjukkan larangan ziarah kubur bagi wanita :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
لَعَنَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ
“Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam melaknat wanita-wanita peziarah kubur””.
Hadits ini
diriwayatkan Ibnu Hibban di dalam Shohihnya sebagaimana dalam Al-Ihsan no.3178.
Dan mempunyai
syawahidnya (pendukung-pendukungnya) diriwayatkan oleh beberapa orang Shahabat
diantaranya :
Ø Hadits Hassan
bin Tsabit dikeluarkan oleh Ahmad 3/242, Ibnu Abi Syaibah 4/141, Ibnu Majah
1/478, Al-Hakim 1/374, Al-Baihaqy dan Al-Bushiry di dalam kitabnya Az-Zawa`id
dan dia berkata isnadnya shohih dan rijalnya tsiqot.
Ø Hadits Ibnu
‘Abbas : Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ashhabus Sunan Al-Arba’ah (Abu
Daud, An-Nasa`i, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah), Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
Al-Baihaqy.
- Al-Imam
Al-Qurthuby berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi
wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan
“mubalaghah” (berlebih-lebihan). Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan
membawa wanita kepada penyelewengan hak suami dan berhias diri dan akan
munculnya teriakan, erangan, raungan dan semisalnya. Dan dikatakan jika semua
hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak ada yang bisa mencegah untuk
memberikan izin kepada para wanita, sebab mengingat mati diperlukan oleh
laki-laki maupun wanita”. (Lihat : Jami’ Ahkamul Qur`an).
- Berkata Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albany : “Dan wanita seperti laki-laki dalam hal
disunnahkannya ziarah kubur”. Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan empat
alasan yang sangat kuat dalam menunjukkan hal tersebut di atas. Setelah itu
beliau berkata : “Akan tetapi tidak dibolehkan bagi mereka (para wanita) untuk
memperbanyak ziarah kubur dan bolak-balik ke kuburan sebab hal ini akan membawa
mereka untuk melakukan penyelisihan terhadap syariat seperti meraung,
memamerkan perhiasan/kecantikan, menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan
menghabiskan waktu dengan obrolan kosong (tidak berguna), sebagaimana
terlihatnya hal tersebut dewasa ini pada sebagian negeri-negeri Islam, dan
inilah maksud Insya Allah dari hadits masyhur :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (وَفِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ) زَوَّارَاتِ
الْقُبُوْرِ
“Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam (dalam sebuah lafadz Allah melaknat)
wanita-wanita yang banyak berziarah kubur”.(Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan Ibnu
Majah no.1574, Musnad Ahmad 2/8430, 8655).
Hikmah
dilarangnya para wanita memperbanyak (sering) berziarah
Diantara
hikmah tersebut :
1. Karena ziarah
dapat membawa kepada penyelewengan hak-hak suami akan keluarnya para wanita
dengan berhias lalu dilihat orang lain dan tak jarang ziarah tersebut disertai
dengan raungan ketika menangis. Hal ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam
Nailul Authar 4/121.
2. Karena para
wanita memiliki kelemahan/kelembekan dan tidak memiliki kesabaran maka
ditakutkan ziarah mereka akan mengantarkan kepada perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan yang akan mengeluarkan mereka dari keadaan sabar yang
wajib. Hal ini disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam dalam kitab
Taudhihul Ahkam 2/563-564.
3. Sebab wanita
sedikit kesabarannya, maka tidaklah dia aman dari gejolak kesedihannya ketika
melihat kuburan orang-orang yang dicintainya, dan ini akan membawa dia pada
perbuatan-perbuatan yang tidak halal baginya, berbeda dengan laki-laki.
Disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Duwaiyyan menukil dari kitab Al-Kafi. Lihat :
Manar As-Sabil Fii Syarh Ad-Dalil 1/236.
4. Berkata Imam
Ibnul Hajj rahimahullah setelah menyebutkan 3 pendapat ulama tentang boleh
tidaknya berziarah kubur bagi wanita : “Dan ketahuilah bahwa perselisihan
pendapat para ‘ulama yang telah disebutkan adalah dengan kondisi wanita pada
waktu itu (zamannya para ‘ulama salaf sebelum Ibnul Hajj yang wafat pada thn
732 H), maka mereka sebagaimana diketahui dari kebiasaan mereka yang mengikuti
sunnah, sebagaimana telah lalu (tentang hal itu). Adapun keluarnya mereka (para
wanita untuk berziarah) pada zaman ini (zaman Ibnul Hajj), maka kami berlindung
kepada Allah dari kemungkinan adanya seorang dari ‘ulama atau dari kalangan
orang-orang yang memiliki muru`ah (kehormatan dan harga diri) atau cemburu
(kepedulian) terhadap agamanya yang akan membolehkan hal ini. Jika terjadi
keadaan darurat (yang mendesak) baginya untuk keluar maka hendaknya berdasarkan
hal-hal yang telah diketahui dalam syari’at berupa menutup aurat sebagaimana
yang telah lalu (pembahasannya) bukan sebagaimana adat mereka yang tercela pada
masa ini. Lihatlah mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta'ala merahmati kami dan
merahmatimu. Lihatlah mafsadah (kerusakan) ini yang telah dilemparkan oleh
syaithan kepada sebagian mereka (para wanita) didalam membangun (menyusun)
tingkatan-tingkatan kerusakan ini di kuburan (Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif
1/251).
FAIDAH ZIARAH
KUBUR
a. Bagi yang
berziarah
Faidah yang bisa
dipetik dan hasil yang akan didapatkan oleh orang yang berziarah kubur, antara
lain :
1. Memberikan
nasehat bagi dirinya.
2.
Mengingatkannya kepada kematian, balasan dan hari kiamat.
3. Menambahkan
kebaikan baginya.
4. Mengambil
pelajaran.
5. Melunakkan
(melembutkan) hati.
6. Menjadikannya
zuhud terhadap dunia dan tamak terhadap kebaikan hari akhirat.
b) Bagi
Penghuni Kubur
Penghuni kubur
akan mendapatkan manfaat dari ziarah kubur dengan adanya salam yang ditujukan
padanya yang isinya adalah permohonan keselamatan baginya, permohonan ampunan
dan rahmat baginya. Semua hal ini hanya bisa didapatkan oleh seorang muslim.
(Disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ahkamul Janaiz : 239).
Berkata Ibnul
Qoyyim rahimahullahu ta’ala :
“Pasal :
Tentang Petunjuk Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dalam ziarah kubur
: Adalah beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam jika menziarahi kubur
para shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendo’akan mereka dan memintakan
rahmat dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi
ummatnya dan beliau syari’atkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika
menziarahi kuburan untuk mengatakan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Salam keselamatan
atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan
Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang
belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada
Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. (Disebutkan dalam Kitab Zadul
Ma’ad karya Ibnul Qoyyim).
Adab Berziarah
Yang dilakukan
oleh seorang peziarah adalah :
1. Memberi salam
kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Diantara
do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
kepada ummatnya yang berziarah kubur :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ
لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Artinya : “Salam
keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin,
mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan
orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami
memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. Diriwayatkan oleh
Imam Muslim 975, An-Nasa`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360.
اَلسَّلاَمُ عَلَى
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنِ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Keselamatan
atas penghuni kubur dari kaum mu’minin dan muslimin mudah-mudahan Allah
merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami
Insya Allah akan menyusul kalian”.
2. Tidak berjalan
di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits Basyir bin
Khashoshiah :
بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ
إِذْ حَانَتْ مِنْهُ نَظَرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ
نَعْلاَنِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ
فَنَظَرَ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَرَمَى بِهِمَا
“Ketika
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba
beliau memandang seorang laki-laki yang berjalan diantara kubur dengan
mengenakan sandal, maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam
bersabda : “Wahai pemilik (yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah
sandalmu”. Maka orang itu memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan
melemparkannya. Diriwayatkan oleh Abu Daud 2/72, An-Nasa`i 1/288, Ibnu Majah
1/474, Al-Hakim 1/373 dan dia berkata : “Sanadnya shohih”, dan disepakati oleh
Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bary
3/160).
Berkata Al-Hafizh
Ibnu Hajar : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara kuburan dengan
sandal” (Fathul Bary 3/160). Berkata Syaikh Al-Albany : “Hadits ini menunjukkan
makruhnya berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal. Lihat Ahkamul Janaiz
252).
3. Tidak duduk
atau bersandar pada kuburan.
Hal ini
berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam :
لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى
الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah
kalian duduk di atas kuburan dan jangan melakukan shalat padanya”. Dikeluarkan
oleh Imam Muslim 2/228.
Dan hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحُدُكُمْ
عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Seandainya
salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga (bara api itu) membakar
pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu adalah lebih baik daripada dia duduk di
atas kuburan”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
4. Dibolehkan
bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdo’a untuk penghuni kubur,
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa alihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Aisyah) mengutus Barirah
untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah
mengambil jalan ke arah Baqi’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang
terdekat dari Baqi’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau
pulang, maka kembalilah Barirah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya).
Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata :
Wahai Rasulullah
keluar kemana engkau semalam ? Beliau berkata : “Aku diutus kepada penghuni
Baqi’ untuk mendo’akan mereka. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan
sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya (Al-Muwatho` (1/239-240)).
5. Berkata
‘Abdullah Al-Bassam : “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada dipekuburan,
baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam
keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta,
seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut dihadapan
keluarga mayat”. (Lihat Taudhihul Ahkam 2/564).
6. Menghadap ke
kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur.
Hal ini diambil
dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada penghuni kubur.
7. Ketika
mendo’akan penghuni kubur tidak menghadap kekuburan melainkan menghadap kiblat.
Sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang ummatnya shalat
menghadap kubur dan karena do’a adalah intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah
ibadah”.
Diriwayatkan oleh
Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Majah (2/428-429).
Larangan-Larangan
Dalam Berziarah
Sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ
وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan
dan jangan pula kalian duduk di atasnya.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/62 dari hadits Abi Martsad Al-Ghanawy.
Shalat di kuburan, meskipun tidak
menghadap padanya, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ
الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi ini semuanya adalah masjid
(tempat shalat) kecuali pekuburan dan kamar mandi.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 317, Ibnu Mâjah 1/246 no.
745, Ibnu Hibbân 8/92 no. 2321.
Dan hadits Anas bin Mâlik,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُوْرِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
âlihi wa sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân 4/596 no. 1698.
Dan Hadits Ibnu ‘Umar,
اِجْعَلُوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ
صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
“Lakukanlah di rumah-rumah kalian
sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai
kuburan.” H.R. Bukhâry no. 422.
Maksudnya bahwa kuburan tidaklah
boleh dijadikan tempat shalat sebagaimana rumah yang dianjurkan untuk dilakukan
sebagian shalat padanya (shalat-shalat sunnah bagi laki-laki).
Dan hadits Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ
مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ
سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari
rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780.
Menjadikan kuburan sebagai tempat
peringatan, dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan pada musim-musim tertentu
untuk beribadah di sisinya atau untuk selainnya, berdasarkan hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَلاَ
تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْراً وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ
“Janganlah kalian menjadikan
kuburanku sebagai tempat peringatan dan janganlah menjadikan rumah kalian
sebagai kuburan dan dimanapun kalian berada bershalawatlah kepadaku sebab
shalawat kalian akan sampai kepadaku.” Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad 2/367, Abu Dâud no. 2042 ( Ahkâmul Janâ`iz dan Min
Bida’il Qubûr )
Melakukan perjalanan (bersafar)
dengan maksud hanya untuk berziarah kubur, berdasarkan hadits Abu Hurairah dari
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ
تُشَدُّ
الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ
وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ
وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيْ وَمُسْلِمٌ
وَلَفْظُهُ
" إِنَّمَا يُسَافَرَ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ
الْكَعْبَةِ
وَمَسْجِدِيْ وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan
(untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Al-Masjidil Haram , masjid Ar-Rasul dan masjid Al-Aqshâ”. Dikeluarkan
oleh Imam Bukhâry dan Muslim dengan lafazh, “Safar itu hanyalah kepada tiga
masjid (yaitu) masjid Al-Ka’bah, Masjidku dan Masjid Iliyâ`.”
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudry dari
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam,
لاَ
تُشَدُّ
وَفِيْ لَفْظٍ : لاَ تَشُدًّوْا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى
ثَلاَثَةِ
مَسَاجِدَ مَسْجِدِيْ هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ
الْأَقُصَى.
أَخْرَجَهُ الشَّيْخَانِ وَاللَّفْظُ الْآخَرُ لِمُسْلِمٍ.
“Tidaklah (boleh) dilakukan
perjalanan -dan dalam sebuah riwayat: janganlah kalian melakukan perjalanan-
(untuk ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku (Masjid Nabawy), Masjidil
Haram dan masjid Al-Aqshâ.” Muttafaqun ‘alaihi .
Dan hadits Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ
مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ
سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari
rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780.
Pada hadits ini terkandung
pengertian bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam
memerintahkan umatnya membaca Al-Qur`ân di rumah-rumah mereka (menjadikan
rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat membaca Al-Qur`ân), kemudian
beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithân akan lari dari rumah-rumah
mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah.
Dan sebelumnya Nabi shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah
mereka sebagai kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut),
maka mafhûm (dipahami) dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah
tempat yang disyari’atkan untuk membaca Al-Qur`ân, bahkan tidak boleh membaca
Al-Qur`ân padanya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “ Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca
Al-Qur`ân dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para
shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada
seorang pun dari ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`ân
di kuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashâhif (kitab-kitab
Al-Qur`ân) di kuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan membacakan
Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.” ( Min Bida’il Qubûr hal.
59).
Bid’ah-Bid’ah
Dalam Berziarah
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Ar-Raddu ‘Alal Bakry
hal.56-57, ketika menyebutkan tingkatan bid’ah yang berhubungan dengan ziarah
kubur, kata beliau : “Bid’ahnya bertingkat-tingkat :
Tingkatan Pertama
(yang paling jauh dari syari’at) : Dia (penziarah) meminta hajatnya pada mayat
atau dia beristighotsah (meminta tolong ketika terjepit/susah) padanya
sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang terhadap kebanyakan penghuni kubur.
Dan ini adalah termasuk jenis peribadatan kepada berhala.
Tingkatan kedua :
Dia (penziarah) meyakini bahwa berdo’a disisi kuburnya mustajab atau bahwa do’a
tersebut afdhal (lebih baik) daripada berdo’a di mesjid-mesjid dan di
rumah-rumah. Dan dia maksudkan ziarah kuburnya untuk hal itu (berdo’a di sisi
kuburan), atau untuk shalat disisinya atau untuk tujuan meminta hajat-hajatnya padanya.
Dan ini juga termasuk kemungkaran-kemungkaran yang baru berdasarkan kesepakatan
imam-imam kaum muslimin. Dan ziarah tersebut haram. Dan saya tidak mengetahui
adanya pertentangan pendapat dikalangan imam-imam agama ini tentang masalah
ini.
Tingkatan ketiga
: Dia (penziarah) meminta kepada penghuni kubur agar memintakan (hajat) baginya
kepada Allah. Dan ini adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para imam-imam kaum
muslimin.
Jakarta
15-12-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar