LARANGAN ALLAH
SWT
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al
Maidah: 51)
Dalam
ayat lain disebutkan,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)
Muqaddimah
KEPEMPINAN adalah salah
satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari
begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa
dimengerti. Karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat.
Dalam agama
Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia telah ada
aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh adalah aturan (syariat)
tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja’)
dari najis saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub).
Demikian juga tata krama (‘adab)
saat bersin, makan, minum, tidur, buang air dan seterusnya.
Padahal ini
menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual. Karena itu sangat
logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas dampaknya, Islam juga
sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal ini karena aspek
kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh
rakyat (ummat) di suatu negeri.
Hadits Nabi
berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam memandang
persoalan kepemimpinan ini. Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda:
إِذَا كَانَ
ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika ada
tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara
mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu
Dawud dari Abu Hurairah).
Mengapa Allah swt Melarang Memilih Non Muslim
?
Berikut
ini ayat- ayat al-Quran yang
menunjukkan dengan jelas larangan memilih pemimpin non
Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang
artinya:
Pertama;
لاَّ يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
Kedua;
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً
مُّبِيناً
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS: An Nisa’ [4]: 144)
Ketiga;
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً
وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ
أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan
permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).
Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman.” (QS:
Al-Ma’aidah [5]: 57)
Keempat;
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ
اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi WALI
(pemimpin/pelindung) jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan
mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
Masih ada
beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan memilih non Muslim
(kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga menggunakan pilihan kata WALI
sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-ayat tersebut adalah : QS. Al Maidah:
51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1 dsb.
Dari
beberapa ayat di atas, Allah Subhanahu
Wata’ala menggunakan pilihan kata pemimpin dengan kata WALI.
Padahal ada begitu banyak padanan kata pemimpin dalam bahasa arab selain kata
wali. Misalnya kata Aamir,
Raa’in, Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan
kata pemimpin dalam tersebut dengan kata WALI?
Jawabnya
adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini memiliki akar kata yang sama dengan
kata wilaayatan
(wilayah/daerah). Karena itu, penggunakan kata waliy dalam berbagai ayat di atas mengindikasikan
bahwa definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat di atas adalah pemimpin yang
bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam
memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah milik
kaum Muslimin.
Pendapat Ahli Tafsir
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al
Maidah [5]:51 )
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang
hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka
itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu
Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian
Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan
ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Pendapat Ulama Tentang Pemimpin Non Muslim
Pemimpin menempati posisi penting dalam
Islam. Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup
orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam,
kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.
Ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.
Ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.
وَلَا
يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية
الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين.
فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز
تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ
تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى
ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
ويجوز
أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Ulama Sepakat, Memilih Pemimpin Kafir, Dilarang
Ulama
sepakat, memilih pemimpin kafir hukumnya terlarang.
Al-Qadhi
Iyadh mengatakan,
أجمع العلماءُ
على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para
ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir.
Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus
dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).
Ibnul
Mundzir mengatakan,
إنَّه قد “أجمع
كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
Para
ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk
menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah,
2/787)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih sangar,
إنَّ الإمام
“ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك
فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
Sesungguhnya
pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat
ulama. wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu,
maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia
mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari
daerah itu. (Fathul Bari, 13/123)
Kriteria Pemimpin
Al-Mawardi
rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat
seorang pemimpin, di antaranya:
1. Adil
dengan ketentuan-ketentuannya.
2. Ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum.
3. Sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan.
4. Normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
5. Bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara.
6. Keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.
2. Ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum.
3. Sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan.
4. Normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
5. Bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara.
6. Keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.
Muhammad
al-Amin asy-Syinqithi menjelaskan,
“Pemimpin haruslah seseorang yang mampu menjadi Qadhi (hakim) bagi rakyatnya
(kaum muslimin). Haruslah seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta
fatwa kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah
masyarakatnya!”
Umar bin ‘Abdul-Aziz rahimahullah berkata,”Masyarakat umum bisa binasa karena
ulah orang-orang (kalangan) khusus (para pemimpin). Sementara kalangan khusus tidaklah binasa karena ulah
masyarakat. Kalangan khusus itu adalah para pemimpin. Berkaitan dengan makna
inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً
لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zhalim saja di antara kamu” [al-Anfâl/8:25].
Al-Walid
bin Hisyam
berkata,”Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan
menjadi baik karena baiknya pemimpin.”
Sufyan
ats-Tsauri berkata kepada Abu
Ja’far al-Manshur: “Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat
akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat.” Abu Ja’far al-Manshur (ia
adalah pemimpin) bertanya: “Siapa dia?” Sufyan menjawab: “Engkau!”
Memilih Pemimpin Dalam Islam
Fatwa
Ijtima’ Ulama di Padang Panjang tahun 2009
1. Pemilihan
Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang
memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih
pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam
kehidupan bersama.
3. Imamah
dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar
terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih
pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif
dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih
pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4
(empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat
hukumnya adalah haram.
Akibat Memilih Non Muslim Sebagai Pemimpin
1. Al-Qur'an memvonis
munafiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin
QS.
4. An-Nisaa' : 138-139.
"Kabarkanlah
kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan
Allah."
2. Al-Qur'an memvonis
ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin
QS.
5. Al-Maa-idah : 51.
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM."
3. Al-Qur'an memvonis
fasiq kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin
QS.
5. Al-Maa-idah : 80-81.
"Kamu
melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir
(musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri
mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam
siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang
diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang
musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang FASIQ."
4. Al-Qur'an memvonis
sesat kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin
QS.
60. Al-Mumtahanah : 1.
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir)
kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
TERSESAT dari jalan yang lurus."
5. Al-Qur'an mengancam
azab bagi yang jadikan kafir sbg Pemimpin / Teman Setia
QS.
58. Al-Mujaadilah : 14-15.
"Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah
sebagai teman ? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari
golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang
mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka AZAB yang sangat
keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan."
6. Al-Qur'an mengajarkan
doa agar muslim tidak menjadi sasaran fitnah orang kafir
QS.
60. Al-Mumtahanah : 5.
"Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (SASARAN) FITNAH bagi orang-orang
kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana."
Sumber: 1.https://almanhaj.or.id
2.https://konsultasisyariah.com
3.http://www.ngaji.web.id
4.https://mutiarazuhud.wordpress.com
5.http://www.hidayatullah.com
Jakarta 27/9/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar