NIAT PUASA ?
Seperti yang kita ketahui bahwa tempatnya niat adalah di dalam
hati. Meniatkan shaum hukumnya memang wajib. Seperti yang dikatakan oleh
Rasulullah dalam haditsnya, “Barangsiapa
yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.”
(HR. Abu Dawud).
Lalu, bagaimana jika seseorang makan sahur lalu lupa melafalkan
niat untuk berpuasa? Ini tidak mengapa karena jika seseorang makan sahur, maka
sesungguhnya ia telah melakukan niat shaum. Ia mempersiapkan makanan sahur dan
melakukannya itu berarti ia ada keinginan untuk melaksanakan shaum. Dan tempat
niat adalah di dalam hati. Jadi , tidak mengapa jika tidak dilafalkan karena
hukum melafalkan niat itu adalah sunnah. Puasanya tetap sah. Wallahu a’lam.
Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar
disebutkan hadits,
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ
». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا
آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ
فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki
sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata,
“Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau
menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi
campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan
tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau
menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).
1.
Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab Al-Hanafiyah
berpendapat bahwasanya tabyit niat itu bukan merupakan syarat sahnya
niat. Namun batas maksimal berniat dalam puasa Ramadhan adalah sebelum matahari
berada di tengah :
As-Sarakhsi (w. 483
H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di
dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut :
وأما الكلام في
وقت النية فلا خلاف في أن أوله من وقت غروب الشمس
“Adapun mengenai
permasalahan waktu minimal memulai niat (puasa) adalah di awal waktu
tenggelamnya matahari berdasarkan kesepakatan para ulama dan tidak ada
perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
2.
Mazhab Al-Malikiyah
Adapun ulama madzhab
Malikiyah sebagaimana disebutkan di atas berpendapat bahwa dalam puasa yang
ditentukan harus secara beruntun waktu pelaksanaannya seperti puasa Ramadhan
dan puasa Kaffarat maka cukup berniat di malam hari pertama puasa. Sehingga
tidak wajib dilakukan setiap hari.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Di dalam madzhab As-Syafi’iyah hukum tabyit niat itu wajib dan
merupakan syarat sahnya puasa, jika puasa yang dilakukan adalah puasa wajib
seperti Ramadhan, Kaffarat dan jenis puasa lainnya.
An-Nawawi (w. 676 H)
salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
تبييت النية شرط
في صوم رمضان وغيره من الصوم الواجب فلا يصح صوم رمضان ولا القضاء ولا الكفارة ولا
صوم فدية الحج غيرها من الصوم الواجب بنية من النهار بلا خلاف
“..Memulai niat di
malam hari (tabyit) adalah syarat dalam puasa Ramadhan dan puasa wajib yang
lain. Maka puasa-puasa wajib seperti puasa Ramadhan, Qadla’, Kaffarat atau
puasa fidyah haji tidak sah hukumnya jika niatnya dimulai dari siang hari.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini....”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Pendapat madzhab Al-Hanabilah dalam masalah ini senada dengan madzhab
As-Syafi’iyah, yaitu wajib tabyit niat bagi puasa wajib dan tidak wajib
bagi puasa sunnah.
Ibnu Qudamah
(w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni
berpendapat sebagai berikut :
فصل: وإن نوى من
النهار صوم الغد، لم تجزئه تلك النية، إلا أن يستصحبها إلى جزء من الليل.
“..Jika seseorang berniat
di siang hari untuk puasa yang dilakukan besok, maka niat tersebut tidak sah.
Kecuali dia melakukannya di sebagian malam...”
http://www.kampussyariah.com
BERMESRAAN WAKTU PUASA ?
Tidak mengapa suami bermesraan dengan
isterinya, atau isteri mengucapkan kata-kata mesra kepada sang suami saat
puasa, dengan syarat keduanya merasa aman tidak keluar mani (akibat perbuatan
tersebut). Jika keduanya tidak merasa aman dari keluarnya mani, seperti orang
yang hasrat seksualnya tinggi dan dia khawatir apabila bermesraan dengan
isterinya akan batal puasanya akibat keluar mani, maka tidak boleh baginya
perbuatan itu, karena akan menyebabkan rusaknya puasa. Demikian pula halnya jika dia
khawatir keluar mazi.
(Asy-Syarhul Mumti, 6/390)
Dalil dibolehkannya mencium dan bermesraan bagi orang yang merasa
aman tidak keluar mani, adalah riwayat Bukhai (1927) dan Muslim (1106) dari
Aisyah radhialahu anha, dia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mencium dan bercumbu (dengan isterinya) saat beliau berpuasa. Dan beliau adalah
orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya di antara kalian."
Dalam shahih Muslim (1108) dari Amr bin Salamah, dia bertanya
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah orang berpuasa
boleh mencium?" Maka Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Tanyalah kepada dia (maksudnya Ummu Salamah)". Lalu Ummu Salamah
memberitahukannya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbuat seperti itu
(mencium saat berpuasa)."
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Selain mencium,
semua bentuk muqadimah jimak, seperti memeluk dan semacamnya, hukumnya
disamakan dengan mencium, tidak ada bedanya."
(Asy-Syarhul Mumti', 6/434)
PUASA DAPAT HAUS DAN LAPAR ?
Hadits Tentang Lima Hal Yang Membatalkan Puasa
خَمْسٌ
يُفْـطِرْنَ الصَّائِمَ وَيُنْقِـضْنَ الْوُضُوْءَ: الْكَـذِبُ، وَالْغِيْبَةُ،
وَالنَّمِيْمَةُ، وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ، وَالْيَمِيْنُ الْفاجِرَةُ .
Artinya: “Ada lima hal
yang dapat membatalkan puasa dan wudhu’ seseorang, (yaitu): berkata dusta,
ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), melihat dengan nafsu, dan
bersumpah palsu.”
Derahat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqaniy dalam Abathil wal Manakir (I/351, no. 338), Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/560, no. 1131), dan Al-‘Iraqiy dalam Takhrijul Ihya’ (I/738).
Derahat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqaniy dalam Abathil wal Manakir (I/351, no. 338), Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/560, no. 1131), dan Al-‘Iraqiy dalam Takhrijul Ihya’ (I/738).
jakarta 18/5/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar