KAIDAH-KAIDAH
TAFSIR AL-QUR’AN
PENDAHULUAN
Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah ada semuanya dalam al-Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur’an.
Respon ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur’an muncul respon defensif yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Ada semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan al-Qur’an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an secara sempit. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja.
Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dengan demikian, ada beberapa persoalan yang diajukan dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
2. Bagaimanakah penerapan kaidah penafsiran tersebut dalam penafsiran al-Qur’an?
3. Bagaimanakah pengembangan kaidah penafsiran tersebut pada era kontemporer sekarang ini?
Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah ada semuanya dalam al-Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur’an.
Respon ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur’an muncul respon defensif yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Ada semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan al-Qur’an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an secara sempit. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja.
Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dengan demikian, ada beberapa persoalan yang diajukan dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
2. Bagaimanakah penerapan kaidah penafsiran tersebut dalam penafsiran al-Qur’an?
3. Bagaimanakah pengembangan kaidah penafsiran tersebut pada era kontemporer sekarang ini?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular. Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..
Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan oleh Manna al-Qattan.
Karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, tampaknya kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses penafsiran.
A. Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular. Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..
Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula yang membahasnya secara teknis dan detail, seperti yang dilakukan oleh Manna al-Qattan.
Karenanya sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, tampaknya kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut juga bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses penafsiran.
B. Macam-Macam Kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.
1. Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
a. Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
– Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
– Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
– Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b. Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
– Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
– Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
– Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
– Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
– Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
c. Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
– Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
– Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
– Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
– Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d. Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
– Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
– Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.
e. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
– al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
– al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
f. Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
g. Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
– Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
– Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib (Q.S. 62:9)
– Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.
3. Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Misalnya ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan perincian yang lain.
Rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para mufasir modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang bisa dikonsumsi masyarakat saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan para mufasir sebelumnya.
Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:
a. Memetakan masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan wilayah nalar.
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an
b. Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i al-Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
c. Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran
Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
C. Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
1. Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
2. Fazlur Rahman
Metode tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah metode gerakan ganda.
Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang. Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.
Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur’an sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum dan khusus.
1. Kaidah Dasar Tafsir
Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Demikian juga dengan perkataan tabiin. Hanya saja keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan al-Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2. Kaidah Umum Tafsir
Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu tersebut.
a. Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
– Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
– Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
– Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b. Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
– Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
– Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
– Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
– Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
– Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
c. Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
– Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
– Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
– Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
– Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d. Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
– Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
– Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.
e. Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
– al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
– al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
f. Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
g. Penerapan kaidah ushul fiqh dalam penafsiran al-Qur’an
Di antara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
– Patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.(Q.S. 24:6)
– Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib (Q.S. 62:9)
– Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas kebalikannya (Q.S. 73:10)
Selain kaidah-kaidah di atas masih banyak kaidah lainnya, di antaranya kaidah tentang al-jumlat al-ismiyat dan fi’liyah, ‘athaf, kata fa’ala, kana, kada, ja’ala, la’alla dan ‘asa. Penerapan kaidah-kaidah tersebut dibahas secara panjang lebar oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an.
3. Kaidah Khusus Tafsir
Kaidah khusus penafsiran merupakan kaidah yang dibangun berdasarkan perspektif dan wordview yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran Islam. Dalam hal ini warna tafsir menjadi sangat beragam sesuai dengan perspektif keilmuannya masing-masing.
Beberapa perspektif keilmuan yang berpengaruh dalam penafsiran al-Qur’an di antaranya adalah ilmu kalam, fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Pada masing-masing perspektif keilmuan tersebut juga terdapat berbagai aliran pemikiran yang bermacam-macam. Misalnya adanya perbedaan kaidah antara tafsir yang dikembangkan Asy’ariyah dan Muktazilah dalam perspertif teologi. Atau antara tafsir Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam perspektif fiqh. Juga antara tafsir Ghazalian dan Rusydian dalam sudut pandang filsafat. Setiap aliran memiliki perspertif keilmuan tersendiri berdasarkan paradigmanya masing-masing.
Munculnya ilmu pengetahuan modern juga berpengaruh pada corak tafsir umat Islam. Adanya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa melahirkan tafsir modern. Arus perubahan dan perkembangan ini berjalan sedemikian cepat dan bersifat global. Akibatnya pandangan umat Islam terhadap realitas pun berubah. Dus pemahaman terhadap informasi yang bersumber dari al-Qur’an pun mengalami perubahan.
Misalnya ketika ilmu pengetahuan dapat mendeteksi jenis janin bayi ketika masih dalam perut ibunya, maka pemahaman terhadap teks “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)” (Q.S. 13:8) tidak lagi ditafsirkan mengetahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Melainkan mengetahui dalam perspektif yang lain, seperti masa depan, jiwa, bakat dan perincian yang lain.
Rasionalitas modern seperti inilah yang menjadi ciri khusus tafsir modern. Para mufasir modern melakukan penafsiran dengan menggunakan kacamata yang bisa dikonsumsi masyarakat saintifik. Salah satu cirinya adalah adanya upaya demitologisasi terhadap berbagai pemikiran yang tidak rasional yang dilakukan para mufasir sebelumnya.
Beberapa kaidah khusus terkait dengan tafsir modern ini diantaranya adalah:
a. Memetakan masalah-masalah dalam al-qur’an menjadi wilayah bukan nalar dan wilayah nalar.
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks al-Qur’an
b. Melakukan pemetaan ulang terhadap wilayah qath’i dan dzanni
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i al-Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatih al-ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berimplikasi pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
c. Penggunaan takwil dan metafora dalam penafsiran
Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
C. Kaidah Penafsiran Kontemporer
Tafsir kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
1. Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan. Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
2. Fazlur Rahman
Metode tafsir yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double movements). Metode ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini dikembangkanlah metode gerakan ganda.
Metode ini dikembangkan dengan menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka panjang. Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.
KESIMPULAN
1. Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
2. Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
3. Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
1. Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
2. Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya masing-masing
3. Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsi. Bandung: Pustaka Setia, 2005
Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983
Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003. Cetakan II
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998. cetakan II
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2004
Al-Makin, Apakah Tafsir Masih Mungkin? dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press bekerjasama dengan Gaung Persada Press Jakarta, 2007
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Syamsuddin, Syahiron. Metode Intratektualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983
Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003. Cetakan II
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998. cetakan II
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2004
Al-Makin, Apakah Tafsir Masih Mungkin? dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Al-Qattan, Manna. Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press bekerjasama dengan Gaung Persada Press Jakarta, 2007
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Syamsuddin, Syahiron. Metode Intratektualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
JAKARTA 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar