Kamis, 31 Maret 2016

BERJAMA'AH DI RUMAH




HUKUM BERJAMA’AH DI RUMAH

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (سورة التحريم: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)
Rasulullah saw bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا (رواه البخاري، رقن  853 ومسلم، رقم 1829)
"Semua kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang orang-orang yang kalian pimpin. Kepala negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang bapak pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu pemimpin di rumah suaminya." (HR. Bukhari, no. 853, Muslim, 1829)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ما من عبد يسترعيه الله رعية يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته إلا حرم الله عليه الجنة (رواه البخاري، رقم 6731 ومسلم، رقم 142).
"Tidaklah seorang hamba Allah berikan kepadanya wewengan untuk mengurus orang yang dipimpinnya, namun ketika mati dia berada dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah akan haramkan surga untuknya." (HR. Bukhari, no. 6731, dan Muslim, no. 142)
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berjama’ah di SELAIN Masjid
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Dalil-dalilnya
Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:
1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]
3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]
Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.
Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]
Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]
Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]
Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”
Dalil-dalilnya
Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah– berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”
Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]
Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]
Footnote
[1] Al-Mudawwanah al-Kubra (1/86)
[2] Al-Umm (1/136)
[3] (3/8)
[4] Al-Lu`lu wal Marjan fiimat tafaqa ‘alaihi As-Syaikhan (1/104)
[5] As-Sunan al-Kubra vol, 3, hal. 66
[6] Shahih Al-Bukhari (1/169), Bab 51 kitab al-adzan.
[7] Kitab as-Shalah, Ibnul Qayyim, hal. 461 dan yang setelahnya.
[8] Idem
[9] Al-Insaf, al-Wardawi (2/123, 214)
[10] Al-Muhalla (4/265)
[11] Mukhatashar al-Fatawa al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52
jakarta 31/3/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman